dua kuntum mawar dari bukit zamrud

dua kuntum mawar dari bukit zamrud

Sabtu, 29 Desember 2012

Ujian Hakiki

Sebagian orang tatkala berada dihadapan orang lain maka ia mampu dengan mudahnya meninggalkan kemaksiatan, bahkan ia mampu untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Ia mampu melaksanakan itu semua meskipun ia berada di tengah-tengah kondisi masyarakat yang tenggelam dalam lautan kemaksiatan. Ini adalah suatu kemuliaan karena ia bisa menghadapi ujian dengan baik sehingga terhindar dari kemaksiatan. Namun ingat sesungguhnya bukan ini ujian yang sebenarnya.
Allah telah melarang para hambanya untuk bermaksiat kepadanya baik secara terang-terangan atau tatkala ia bersendirian tatkala tidak ada orang lain yang melihatnya. Seseorang yang mencegah dirinya dari melakukan kemaksiatan dihadapan khalayak tentunya berbeda dengan orang yang mencegah dirinya dari melakukan kemaksiatan tatkala ia bersendirian.
Sesungguhnya ujian yang hakiki adalah ujian yang dihadapi seorang hamba tatkala ia sedang bersendirian kemudian tersedia dihadapannya sarana dan prasarana serta kemudahan baginya untuk melakukan kemaksiatan, apakah ia mampu mencegah dirinya dari kemaksiatan tersebut?? Inilah ujian yang hakiki, ujian yang sangat berat, beruntunglah bagi mereka yang bisa selamat dari ujian ini.
Ketahuliah…, orang yang mampu menghindarkan dirinya dari kemaksiatan tatkala dihadapan orang lain namun ia terjerumus dalam kemaksiatan tatkala ia sedang bersendirian merupakan orang yang tercela.
Rasulullah salallah wa’alaihi wasallam pernah bersabda,
لألفين أقواما من أمتي يأتون يوم القيامة بحسنات أمثال جبال تهامة فيجعلها الله هباء منثورا فقالوا يا رسول الله صفهم لنا لكي لا نكون منهم ونحن لا نعلم فقال أما إنهم من إخوانكم ولكنهم أقوام إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها
“Sungguh aku mengetahui sebuah kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan yang banyak seperti[1] bukit Tihamah kemudian Allah menjadikannya seperti debu yang beterbangan.” Maka mereka -sahabat- bertanya, “Wahai Rasulullah, berikanlah ciri mereka kepada kami agar kami tidak termasuk golongan mereka dalam keadaan tidak sadar.” Maka beliau menjawab, “Adapun, mereka itu adalah saudara-saudara kalian, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang apabila bersepi-sepi dengan apa yang diharamkan Allah maka mereka pun menerjangnya.”
Allah telah menguji orang-orang yahudi dengan ikan. Allah berfirman,
}وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعاً وَيَوْمَ لا يَسْبِتُونَ لا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ| (لأعراف:163
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada disekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik”. (QS. 7:163)
Lihatlah… Allah memudahkan bagi mereka sebab-sebab untuk melakukan kemaksiatan. Namun mereka (orang-orang Yahudi) tersebut tidak sabar dengan ujian Allah padahal mereka yakin bahwa Allah mengawasi gerak-gerik mereka, oleh karena itu mereka tidak melanggar perintah Allah secara langsung tetapi mereka melakukan hilah yang akhirnya Allah merubah mereka menjadi kera-kera yang hina.
Allah pun telah menguji para sahabat Nabi. Allah berfirman,
}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ بِشَيْءٍ مِنَ الصَّيْدِ تَنَالُهُ أَيْدِيكُمْ وَرِمَاحُكُمْ لِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ| (المائدة:94)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Barangsiapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang pedih” (Al-Maidah : 94)
Dari Muqotil bin Hayyan, bahwasanya ayat ini turun tatkala umroh Hudaibiyah, tatkala itu muncul banyak sekali zebra, burung, dan hewan-hewan buruan yang lain di tengah perjalanan para sahabat (yang sedang dalam keadaan berihram umroh), mereka tidak pernah menjumpai yang seperti ini sebelumnya, namun Allah melarang mereka untuk berburu hewan-hewan tersebut.[2] Sampai-sampai saking terlalu jinaknya hewan-hewan tersebut maka mereka bisa mengambil langsung hewan-hewan buruan yang kecil dengan tangan-tangan mereka, adapun hewan-hewan buruan yang besar maka mereka bisa dengan mudah menombaknya[3]
Dalam ayat ini | لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ } Allah menta’kid (menekankan) dengan sumpah[4] untuk menunjukan bahwa apa yang sedang mereka hadapi berupa jinaknya hewan-hewan buruan, tidaklah Allah menjadikan hewan-hewan tersebut jinak kecuali karena untuk menguji mereka.[5]
Adapun nakiroh pada kalimat | بِشَيْءٍ } menunjukan bahwa cobaan yang Allah turunkan pada mereka bukanlah cobaan yang sangat mengerikan yang menyebabkan terbunuhnya nyawa dan rusaknya harta benda, namun cobaan yang Allah berikan kepada para sahabat pada ayat ini adalah semisal cobaan yang Allah berikan kepada penduduk negeri Ailah (orang-orang yahudi) berupa ikan-ikan yang banyak mengapung di permukaan laut namun Allah melarang mereka untuk menangkapnya[6]. Dan faedah dari cobaan yang tergolong “ringan” ini adalah untuk mengingatkan mereka bahwa barangsiapa yang tidak bisa tegar menghadapi seperti cobaan ini maka bagaimana ia bisa tegar jika menghadapi cobaan yang sangat berat. Oleh karena itu huruf | مِنَ } dalam ayat ini | مِنَ الصَّيْدِ } ini jelas adalah bayaniah dan bukan tab’idhiyah.[7]
Jika seorang hamba merasakan bahwa dirinya dimudahkan untuk melakukan kemaksiatan, jalan-jalan menuju kemaksiatan terbuka lapang baginya maka ketahuilah bahwa ia sedang diuji oleh Allah…ingatlah bahwa Allah yang sedang mengujinya juga sedang mengawasinya, maka takutlah ia kepada Allah. Inilah ujian yang hakiki, dan Allah akan memberikan ganjaran yang besar baginya karena kekuatan imannya. Barangsiapa yang meninggalkan kemaksiatan padahal sangat mudah baginya untuk melakukannya maka ketahuilah bahwa itu adalah kabar gembira baginya karena hal itu merupakan indikasi imannya yang kuat. Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dalam keadaan bersendirian maka ketahuliah bahwa imannya ternyata lemah, dan hendaknya ia takut kepada adzab yang Allah janjikan kepada orang-orang yang melanggar perintahNya.
Oleh karena itu di akhir ayat Allah berfirman | لِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ }, inilah hikmah dari ujian yang Allah berikan kepada para sahabat yang sebagian mereka bisa saja mengambil hewan-hewan buruan tersebut dengan mudahnya baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Dengan ujian ini akan nampak siapakah dari hamba-hamba Allah yang takut dan bertakwa kepada Allah baik secara terang-terangan maupun tatkala bersendirian.
Hal ini sebagaimana firman Allah
}إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ| (الملك:12(
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabbnya Yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar”. (QS. 67:12)[8]
Ujian yang diberikan oleh Allah agar terbedakan hamba Allah yang karena keimanannya yang kuat maka takut kepada adzab Allah di akhirat yang meyakini bahwasanya Allah senantiasa mengawasinya meskipun ia tidak melihatNya, agar terbedakan dari hamba yang lemah imannya sehingga berani melanggar perintah Allah…[9], sehingga Allah memberinya ganjaran yang besar…adapun menampakan rasa takut kepada Allah dihadapan khalayak maka bisa jadi ia melakukannya karena takut kepada Allah maka ia tidak mendapatkan ganjaran…[10].

Kewajiban Mendahulukan Wahyu Atas Hawa Nafsu

Dari Abu Muhammad, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash, dia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Hadits hasan shahih dan kami riwayatkan dari kitab al-Hujjah dengan sanad yang shahih).
PENJELASAN:
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash tergolong sahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, sebab ia sebagai penulis wahyu, sehingga Abu Hurairah merasa ingin mengunggulinya (ghibthah). Abu Hurairah berkata: “Saya tidak tahu orang yang mengungguliku dalam periwayatan hadits Rasulullah, selain ‘Abdullah bin ‘Amr, sebab ia menulis sedangkan aku tidak menulis. (2)
Sabda beliau:    احدكم لايؤمن  (tidak beriman salah seorang di antara kalian), artinya: iman secara sempurna.  ه حتى يكون هوا (hingga hawa nafsunya), artinya: arah dan tujuannya (sesuai/mengikuti syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Imam an-Nawawi berkata: “Hadits hasan shahih dan kami riwayatkan dari kitab al-Hujjah dengan sanad yang shahih.” Ibnu Rajab mengomentari penilaian Imam an-Nawawi akan riwayat ini, ia berkata: “Hadits ini tidak shahih (namun dha’if).” Sebab itu saya anjurkan untuk membaca syarah lbnu Rajab dan komentarnya tentang derajat hadits yang ada dalam kitab al-Arba’in ini. Sebab beliau termasuk pakar hadits. Apabila ia mencacatkan hadits-hadits yang disebutkan Imam an-Nawawi  niscaya akan jelas bagi kita alasannya.
Akan tetapi makna hadits ini benar, tanpa harus melihat sanadnya, sebab hawa nafsu manusia harus mengikuti risalah yang dibawakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.
BEBERAPA FAEDAH (PELAJARAN) DARI HADITS INI:
1. Peringatan bagi manusia untuk tidak mengedepankan akal atau adat istiadat di atas risalah yang dibawakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab ketidaksempurnaan iman ini dapat menafikan keimanan darinya.
Apabila seseorang berkata: mengapa kalian mengartikannya dengan ‘tidak beriman secara sempurna?’
Jawaban: kami mengartikannya demikian sebab tidak mungkin hal ini terjadi dalam setiap permasalahan. Bisa jadi hawa nafsunya mengikuti banyak hal yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dalam sebagian yang lain tidak mengikutinya, maka dari itu diartikan ‘tidak beriman secara sempurna’. Dan kita katakan: apabila hawa nafsunya menolak semua (perkara agama) yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia menjadi orang yang murtad (kafir).
2. Wajib atas seseorang untuk mendahulukan mencari dalil, sebelum memutuskan suatu hukum, bukan menghukumi dulu lantas mencari dalil. Artinya: jika Anda ingin menetapkan suatu hukum dalam hal keyakinan atau amalan yang zhahir, maka kewajiban Anda yang pertama adalah mencari dalil, kemudian menetapkannya. Adapun sikap sebaliknya (Anda menetapkan dulu lalu mencari dalil), itu berarti Anda menjadikan diri Anda sebagai matbu’ (yang harus diikuti) oleh para tabi’ (yang mengikuti). Dengan kata lain, jika demikian Anda telah menjadikan akal sebagai sumber rujukan pokok, sedangkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai cabangnya.
Sebab itu Anda dapatkan sebagian ulama – semoga Allah merahmati dan memaafkan mereka – yang mendewa-dewakan madzhab mereka. Madzhab itu mereka jadikan dalil dan rujukan pokok bagi para pengikut madzhab mereka, kemudian mereka berupaya memutar-mutarkan ‘tengkuk’ nash (al-Qur-an dan as-Sunnah) agar sesuai dengan apa yang dinyatakan madzhab mereka dengan cara yang tidak tepat. Ini termasuk musibah yang menimpa sebagian ulama. Maka yang wajib atasmu adalah menjadikan hawa nafsu mengikuti apa yang datang dari syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Pembagian hawa nafsu kepada terpuji dan tercela. Pada dasarnya, ketika hawa nafsu dikatakan secara umum, maka yang dimaksud adalah hawa nafsu yang tercela, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur-an dan al-Hadits. Setiap yang Allah sebutkan dalam hal mengikuti hawa nafsu, secara otomatis itu berarti jelek. Namun hadits ini menunjukkan bahwa hawa nafsu dapat diarahkan agar mengikuti syari’at yang dibawa oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Dengan kata lain, hawa nafsu itu terbagi dua bagian: Pertama terpuji, yaitu manakala ia mengikuti apa yang dibawakan Rasulullah. Kedua: tercela, yaitu yang menyelisihi hal di atas. Namun ketika disebutkan secara mutlak, maka pengertiannya adalah hawa nafsu yang tercela, sehingga dikatakan: “Hidayah lawannya adalah hawa nafsu.”
4. Kewajiban menerapkan hukum syari’at Islam dalam segala hal, berdasarkan sabda beliau:  تبعاُ لما جئت به “mengikuti apa yang aku bawa.” Sedangkan Rasulullah diturunkan dengan membawa segala hal yang akan bermanfaat bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah Ta’ala berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
 “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur-an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS. An-Nahl: 89)
Tidak ada satu pun di antara persoalan yang dibutuhkan manusia, baik dalam hal akhirat atau dunia – alhamdulillah – seluruhnya telah dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, entah penjelasannya gamblang, setiap orang mengetahuinya, atau penjelasan bagi sesuatu yang sulit, yang hanya diketahui oleh orang-orang yang kuat dalam hal keilmuannya (ulama).
5. Iman itu bersifat bertambah dan berkurang, sebagaimana yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.
Wallaahu a’lam.

Larangan Mencaci Maki Angin

Terkadang kita suka mendengar seseorang yang kesal kemudian keluar sumpah serapah tatkala merasakan angin yang kuat berhembus membanting pintu atau jendela rumahnya. Mungkin tidak disadari bahwa sesungguhnya itu adalah perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim.
Mencaci maki angin telah dilarang oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam karena Allah-lah yang telah mengatur angin sesuai dengan kehendakNya, baik itu akan membawa kebaikan maupun keburukan bagi manusia. Bahkan Rasulullah shalallahu ’alaihi wa salam mengajari kita untuk berdo’a tatkala angin berhembus. Di antara hadits yang melarang mencaci maki angin adalah sebagai berikut:
Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda:
لا تسبواالريح فإذا رايتم ما نكرهون فقولوا : اللهم انا نسالك من خير هذا الريح و خير ما امرث به, و نعوذبك من شر هذا الريح, و شر ما فيها, وشر ما امرت به  – اخرجه الترمذي
 “Janganlah kalian mengutuk angin. Jika kalian mendapati suatu hal yang kalian benci, maka katakanlah, “Ya Allah, kami memohon perlindungan kepada-Mu akan kebaikan angin ini dan kebaikan yang dibawanya, dan kami berlindung kepada-Mu dan keburukan angin ini dan kejahatan yang dibawa olehnya, serta kejahatan yang ada di dalamnya.“ (1)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda:
لا تسبواالريح فإنها من روح الله تعالى تاتي بالرحمة و العذاب . ولكن سلواالله من خيرها و تعوذوا بالله من شرها – اخرجه احمد و ابن ماجه
“Janganlah kamu mengutuk angin karena angin itu berasal dari Allah yang berhembus membawa rahmat dan azab. Namun mintalah kepada Allah akan kebaikannya dan berlindunglah kepada-Nya dari keburukannya. “ (2)

Manfaat dan Faidah Dzikir

Dalam surat al-Ahzab ayat 41 Allah berfirman:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya.”
Di sini Allah memerintahkan kita untuk berdzikir sebanyak-banyaknya. Orang yang banyak berdzikir berarti memiliki hati yang hidup. Dia selalu sadar akan keadaannya sebagai seorang hamba yang fakir dan butuh kepada Allah serta hatinya dipenuhi dengan pengagungan dan pujian terhadap Allah. Perumpaan orang yang berdzikir dan yang tidak berdzikir adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati.
Namun barangkali kita belum menyadari apa sajakah manfaat dzikir bagi pelakunya? Ibnul Qayyim al-Jauziyyah telah menyebutkan banyak manfaat dan faidah dzikir yang bisa menambah motivasi kepada kita untuk banyak berdzikir. Faidah dzikir banyak sekali, bisa mencapai seratus lebih. Sebagian di antaranya:
Pertama: Mengusir syetan, menundukkan dan mengenyahkannya.
Kedua: Membuat Allah ridha.
Ketiga: Menghilangkan kesedihan dan kemuraman hati.
Keempat: Mendatangkan kegembiraan dan kesenangan di dalam hati.
Kelima: Menguatkan hati dan badan.
Keenam: Membuat hati dan wajah berseri.
Ketujuh: Melapangkan rezki.
Kedelapan: Menimbulkan rasa percaya diri dan kharisma.
Kesembilan: Menumbuhkan rasa cinta yang merupakan ruh Islam, menjadi inti agama, poros kebahagiaan dan keselamatan. Allah telah menjadikan segala sesuatu ada sebabnya. Maka Dia menjadikan sebab cinta adalah dzikir secara terus-menerus. Barangsiapa ingin mendapatkan cinta Allah, maka hendaklah dia senantiasa berdzikir dan mengingat Allah. Belajar dan mengingat merupakan pintu ilmu. Dzikir merupakan pintu cinta, dan jalan untuk itu sangat besar dan lurus.
Kesepuluh: Menumbuhkan perasaan bahwa dirinya diawasi, sehingga mendorongnya untuk selalu berbuat bajik. Dia beribadah kepada Allah seakan-akan Allah melihat dirinya secara langsung. Tapi orang yang lalai untuk berdzikir tidak akan sampai kepada kebajikan, sebagaimana orang yang hanya duduk saja tidak akan sampai ke tempat tujuan.
Kesebelas: Membuahkan ketundukan, yaitu berupa diri kepasrahan kepada Allah dan kembali kepada-Nya. Selagi dia lebih banyak kembali kepada Allah dengan cara menyebut asma-Nya, maka dalam keadaan seperti apa pun dia akan kembali kepada Allah dengan hatinya, sehingga Allah menjadi tempat mengadu dan tempat kembali, kebahagiaan dan kesenangannya, tempat bergantung tatkala mendapat bencana dan musibah.
Kedua belas: Membuahkan kedekatan kepada Allah. Seberapa jauh dia melakukan dzikir kepada Allah, maka sejauh itu pula kedekatannya dengan Allah, dan seberapa jauh dia lalai melakukan dzikir, maka sejauh itu jarak yang memisahkannya dengan Allah.
Ketiga belas: Membukakan pintu yang lebar dan berbagai pintu ma’rifat. Semakin banyak dia berdzikir, maka semakin lebar pintu yang terpampang di hadapannya.
Keempat belas: Membuahkan keengganan kepada Allah dan pengagungan-Nya, karena dia merasakan kebersamaan dengan Allah. Berbeda dengan orang yang lalai. Tabir keengganan ini sangat tipis di dalam hatinya.
Kelima belas: Membuatnya selalu diingat Allah, sebagaimana firman-Nya, “Maka ingatlah Aku, niscaya Aku mengingat kalian. “(Al-Baqarah: 152).
Keenam belas: Membangkitkan kehidupan di dalam hati. Kami pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dzikir bagi hati sama dengan air bagi ikan. Apa yang terjadi dengan ikan andaikan dia dipisahkan dari air?”
Ketujuh belas: Dzikir merupakan santapan hati dan ruh. Jika hati dan ruh kehilangan santapannya, maka sama dengan badan yang tidak mendapatkan santapannya. Suatu kali kami menemui Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang sedang shalat subuh. Seusai shalat dia berdzikir kepada Allah hingga hampir tengah hari. Pada saat itu dia menengok ke arahku seraya berkata, “Inilah santapanku. Andaikan aku tidak mendapatkan santapan ini, tentu kekuatanku akan hilang.”
Kedelapan belas: Membersihkan hati dari karatnya, seperti yang sudah kami uraikan di bagian atas. Segala sesuatu ada karatnya. Karat hati adalah lalai dan hawa nafsu. Sedang untuk membersihkan karat ini ialah dengan taubat dan istighfar.
Kesembilan belas: Menyingkirkan kesalahan dan mengenyahkannya. Dzikir merupakan kebaikan yang paling agung. Sementara kebaikan dapat menyingkirkan keburukan.
Kedua puluh: Menyelamatkannya dari adzab Allah, sebagaimana yang dikatakan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dan dia memarfu’kannya, “Tidak ada amal yang dilakukan anak Adam yang lebih menyelamatkannya dari adzab Allah selain dari dzikir kepada Allah.
Kedua puluh satu: Dzikir memberikan rasa aman dari penyesalan pada hari kiamat. Karena majelis yang di dalamnya tidak ada dzikir kepada Allah, maka akan menjadi penyesalan bagi pelakunya pada hari kiamat.
Kedua puluh dua: Dzikir merupakan ibadah yang paling mudah, namun paling agung dan paling utama. Sebab gerakan lidah merupakan gerakan anggota tubuh yang paling ringan dan paling mudah. Andaikan ada anggota tubuh lain yang harus bergerak seperti gerakan lidah sehari semalam, tentu ia akan kesulitan melaksanakannya dan bahkan tidak mungkin.
Kedua puluh tiga: Dzikir merupakan tanaman surga, sebagaimana yang diriwayatkan at-Tirmidzy dari hadits Abdullah bin Mas’ud dia berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda yang artinya, “Pada malam aku diisra’kan, aku bertemu Ibrahim al-Khalil ‘alaihi salam seraya berkata kepadaku, “Hai Muhammad, sampaikanlah salamku kepada umatmu, dan beritahukanlah kepada mereka bahwa surga itu bagus tanahnya, segar airnya, dan bahwa surga itu merupakan kebun, sedangkan tanamannya adalah subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah, wallahu akbar.” Menurut at-Tirmidzy ini hadits hasan gharib. Dia juga meriwayatkan dari Abu Zubair dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda, “ Barangsiapa mengucapkan ‘subhanallah wa bihamdihi’, maka ditanamkan baginya pohon kurma di surga.” Menurut at-Tirmidzy ini hadits hasan shahih.
Kedua puluh empat: Terus menerus dzikir kepada Allah membuatnya tidak melalaikan Allah. Padahal lalai mengingat Allah merupakan sebab penderitaan hamba di dunia dan di akhirat. Siapa yang melalaikan Allah juga akan lalai terhadap dirinya sendiri dan kemaslahatannya.

Dzikir Pagi dan Petang

Ada banyak do’a dan dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Diantaranya adalah do’a dan dzikir yang berkaitan dengan ibadah tertentu seperti setelah shalat dan saat ibadah haji dan umrah, dzikir sehari-hari seperti setelah bangun tidur, saat hujan turun, bangun tidur, masuk kamar mandi dan sebagainya, serta dzikir pagi dan petang. Mungkin masih banyak kaum muslimin yang belum tahu dan belum mengamalkan dzikir pagi dan petang, padahal begitu besar manfaat dan faidah berdzikir.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa waktu pagi yang dimaksud adalah antara subuh hingga terbit matahari dan waktu petang adalah antara ashar hingga tenggelamnya matahari. Dalam surat al-Ahzab ayat 41 -42 Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا -  وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”
Al-Jauhary berkata, “Ashil artinya waktu antara ashar dan maghrib. Bentuk jamaknya ushul, ashal, asha’il.”
Seorang penyair berkata, “Sungguh kau adalah rumah yang penghuninya dimuliakan, aku duduk di pojok-pojoknya antara ashar dan maghrib.”
Allah juga berfirman,
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالإبْكَارِ
“Maka bersabarlah, sesungguhnya janji Allah itu benar dan mohonlah ampunan atas dosamu dan bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu di waktu petang dan pagi.” (al-Mukmin: 55)
Al-ibkar artinya awal siang hari, sedangkan al-‘asyi artinya akhir siang hari. Allah juga berfirman,
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ
“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya).” (Qaf: 39)
Ini merupakan penafsiran dari apa yang disebutkan dalam berbagai hadits, bahwa siapa yang berkata begini dan begitu pada pagi dan petang hari …, maksudnya adalah sebelum terbit matahari dan sebelum tenggelamnya. Mulainya dari sesudah subuh dan sesudah ashar.
Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda, “Barang siapa berkata pada pagi dan petang hari سُبْحَانَ اللهُ وَ بِحَمْدِهِ (subhanallahi wa bihamdihi) seratus kali, maka tidak ada seorang pun yang datang pada hari kiamat sambil membawa sesuatu yang lebih baik dari apa yang dibawanya, kecuali seseorang yang berkata seperti yang dikatakannya atau lebih dari itu.”
Di dalam as-Sunan disebutkan dari Abdullah bin Khubaib, dia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadanya, “Katakanlah!” Dia bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kukatakan?” Beliau menjawab, “Katakanlah Qul huwallahu ahad dan mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Naas) ketika engkau memasuki waktu petang dan pagi sebanyak tiga kali, niscaya sudah membuatmu cukup dalam segala sesuatu.” (menurut at-Tirmidzy ini adalah hadits hasan shahih).
Dan masih banyak lagi contoh-contoh do’a dan dzikir yang diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam yang dibaca saat pagi dan petang. Bagi yang ingin mendengarkan dan menghafal dzikir-dzikir tersebut bisa mendownload file mp3 berikut ini:
Anda juga bisa menyimak melalui Radio Rodja gelombang 756 AM atau melalui internet live streaming setiap ba’da subuh dan ashar. Dan bagi anda pengguna iPhone dan iPad bisa mendownload aplikasi dzikir iAzkar di App Store.

Pada Hal Apa Sajakah Suatu Amal Bisa Menjadi Bid’ah?

Istilah bid’ah sudah gencar disuarakan oleh para ulama sebagai peringatan bagi kaum muslimin agar menjauhinya. Mengapa tidak? Karena orang-orang yang melakukan perbuatan bid’ah tidak sadar dan tidak merasa telah berbuat kesalahan. Mereka merasa sedang melakukan suatu amal shalih dan berharap pahala darinya. Itulah salah satu bahaya terbesar dari perbuatan bid’ah sebagaimana dikatakan seorang ulama tabi’in, Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats-Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis). Ya, pelaku maksiat biasanya dia menyadari bahwa dia telah berbuat dosa dan lebih besar harapannya dia suatu saat akan bertaubat. Tapi pelaku bid’ah..?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pun telah memperingatkan tentang perbuatan bid’ah ini dalam sebuah haditsnya,
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ” رواه البخاري ومسلم , وفي رواية لمسلم ” من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak”. (Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)
Para ulama telah sepakat bahwa suatu amal ibadah tidak sah kecuali bila berkumpul padanya dua syarat: Pertama, adanya ke ikhlasan. Kedua, mengikuti contoh dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam (mutaba’ah). Dan satu kaidah penting yang bisa kita pegang dalam masalah ibadah ini adalah bahwasanya asal dari setiap ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya. Ini berbeda dengan muamalah yang pada asalnya adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Dari sini kita bisa memahami kesalahan sebagian orang yang berkata, “mana dalilnya bahwa perbuatan ibadah saya ini terlarang?” Seharusnya orang itulah yang justru harus mendatangkan dalil yang mendasari perbuatan ibadahnya itu. Niat yang baik tidak akan menjadikan suatu amalan bid’ah menjadi amal shalih karena telah melanggar syarat kedua sahnya ibadah, yaitu mutaba’ah.
Jika ada seseorang berkata: “Apabila saya berbuat sesuatu yang baru, asalnya dari syari’at, akan tetapi saya menjadikannya dengan sifat yang khusus yang tidak ada dalam syari’at, apakah yang demikian juga berarti akan tertolak?”
Maka jawabannya adalah akan tertolak. Berikut penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin tatkala menjelaskan hadits di atas.
Ketahuilah, bahwa mutaba’ah tidak akan terwujud apabila amalan tersebut tidak sesuai dengan syari’at dalam enam hal, yakni: sebabnya, jenisnya, ukurannya, teknisnya, waktunya, dan tempatnya. Apabila tidak sesuai dengan syari’at dalam enam hal ini, maka amalan tersebut dikatakan bathil dan tertolak, sebab ia melakukan suatu hal dalam agama Allah yang tidak ada sandaran darinya.
Pertama: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam sebabnya. Hal ini seperti seseorang melakukan ibadah dengan sebab yang tidak pernah Allah sebutkan, misalkan dia shalat dua raka’at setiap kali memasuki rumahnya dan menjadikan hal ini sebagai perbuatan sunnah. Seperti ini tertolak. Walaupun perkara shalat pada dasarnya disyari’atkan, tetapi ketika ia kaitkan dengan sebab yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal ini mengakibatkan ibadah tersebut tertolak. Contoh yang lain, apabila seseorang membuat semacam perayaan dengan sebab kemenangan kaum Muslimin pada perang Badar, maka hal ini pun tertolak, sebab ia mengaitkannya kepada sebab yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kedua: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Apabila seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah yang tidak pernah disyari’atkan agama dalam hal jenisnya, maka hal itu tidak akan diterima. Sebagai contoh, bila seseorang berkurban dengan kuda, maka hal ini tertolak, sebab menyelisihi perintah syari’at dalam hal jenis, dimana syari’at Islam memerintahkan berkurban harus dari jenis binatang ternak tertentu yaitu unta, sapi dan kambing. Adapun seseorang yang memotong kuda dengan niat menshadaqahkan dagingnya maka hal itu diperbolehkan, sebab ia tidak dikatakan berkurban kepada Allah dengan menyembelihnya, namun hanya menyembelihnya untuk dishadaqahkan dagingnya.
Ketiga: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam hal ukurannya. Apabila seseorang beribadah kepada Allah dengan ukuran yang lebih dari ukuran yang telah ditentukan syari’at maka hal itu tidak akan diterima. Sebagai contoh, bila seseorang berwudhu dengan membasuh setiap bagian sebanyak empat kali, maka yang keempatnya tertolak, sebab hal itu melebihi ketentuan syari’at.  Bahkan disebutkan dalam sebuab hadits bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam berwudhu tiga kali-tiga kali, lalu beliau bersabda:
من زاد على ذلك فقد اساء و تعدى و ظلم
“Barangsiapa yang melebihkannya, maka ia telah berbuat jelek melampaui batas dan berbuat kezhaliman.” (HR Imam Ahmad dalam Musnad al-Mukatsirin no 6684, an-Nasa’i kitab ath-Thaharah bab al-I’tidaa fil Wudhu no 140, dan Ibnu Majah kitab at-Thaharah wa Sunaniha bab Ja’a fil Qasdi fil Wudhu’i wa Karahatut Ta’addi Fiih no 422, Hadits hasan seperti disebutkan Shahihul Jami’ no 6989)
Keempat: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam hal teknisnya. Apabila seseorang mengamalkan sesuatu dalam rangka beribadah kepada-Nya tetapi menyelisihi syari’at dalam hal teknisnya, maka tidak akan diterima, dan hal itu tertolak. Contoh, seseorang shalat, ia langsung bersujud sebelum melakukan ruku, maka shalatnya tidak sah dan tertolak, sebab tidak sesuai dengan teknis tuntunan syari’at. Demikian pula dalam hal wudhu dengan cara berbalik seperti memulai dengan membasuh kaki sebelum mengusap kepala setelah itu membasuh tangan lalu muka, apabila berwudhu dengan teknis seperti ini maka tidak sah, sebab tidak mengikuti perintah syari’at dalam hal teknis atau tata caranya.
Kelima: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam hal waktunya. Bila seseorang shalat sebelum masuk waktunya, maka shalatnya tidak mungkin diterima sebab ia menyelisihi waktu yang telah ditentukan syari’at. Juga bila menyembelih kurban sebelum mengadakan shalat ‘Id, inipun tertolak, sebab menyelisihi waktu yang telah ditentukan syari’at. Apabila seseorang beri’tikaf pada selain waktunya, maka hal itu tidak sesuai dengan pedomannya, namun hal ini diperbolehkan sebab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam membolehkan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu beritikaf di Masjidil Haram ketika beliau bernadzar. Apabila seseorang mengakhirkan suatu ibadah yang telah ditentukan waktunya oleh syari’at tanpa adanya alasan yang dibenarkan, seperti shalat shubuh setelah terbit matahari tanpa udzur, maka (dengan sikap seperti ini) shalatnya tertolak, sebab ia telah beramal dengan amalan yang tidak bersumber dan Allah dan Rasul-Nya.
Keenam: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam ketentuan tempat. Apabila seseorang beri’tikaf di sekolah atau di rumah, bukan di mesjid, maka amalannya ini tidak sah, sebab tidak sesuai dengan tuntunan syari’at dalam ketentuan tempatnya, di mana ibadah i‘tikaf harus dilakukan di masjid.
Demikianlah enam hal tempat terjadinya perbuatan bid’ah, semoga bisa menambah pemahaman kita tentang bid’ah.