karena kita semua sama marilah kita memanggil dari hati kita
dua kuntum mawar dari bukit zamrud
Kamis, 07 Februari 2013
Sabtu, 29 Desember 2012
Ujian Hakiki
Sebagian orang tatkala berada dihadapan orang lain maka ia mampu
dengan mudahnya meninggalkan kemaksiatan, bahkan ia mampu untuk
menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Ia mampu melaksanakan itu semua
meskipun ia berada di tengah-tengah kondisi masyarakat yang tenggelam
dalam lautan kemaksiatan. Ini adalah suatu kemuliaan karena ia bisa
menghadapi ujian dengan baik sehingga terhindar dari kemaksiatan. Namun
ingat sesungguhnya bukan ini ujian yang sebenarnya.
Allah telah melarang para hambanya untuk bermaksiat kepadanya baik
secara terang-terangan atau tatkala ia bersendirian tatkala tidak ada
orang lain yang melihatnya. Seseorang yang mencegah dirinya dari
melakukan kemaksiatan dihadapan khalayak tentunya berbeda dengan orang
yang mencegah dirinya dari melakukan kemaksiatan tatkala ia
bersendirian.
Sesungguhnya ujian yang hakiki adalah ujian yang dihadapi seorang
hamba tatkala ia sedang bersendirian kemudian tersedia dihadapannya
sarana dan prasarana serta kemudahan baginya untuk melakukan
kemaksiatan, apakah ia mampu mencegah dirinya dari kemaksiatan
tersebut?? Inilah ujian yang hakiki, ujian yang sangat berat,
beruntunglah bagi mereka yang bisa selamat dari ujian ini.
Ketahuliah…, orang yang mampu menghindarkan dirinya dari kemaksiatan
tatkala dihadapan orang lain namun ia terjerumus dalam kemaksiatan
tatkala ia sedang bersendirian merupakan orang yang tercela.
Rasulullah salallah wa’alaihi wasallam pernah bersabda,
لألفين أقواما من أمتي يأتون يوم القيامة بحسنات أمثال جبال تهامة
فيجعلها الله هباء منثورا فقالوا يا رسول الله صفهم لنا لكي لا نكون منهم
ونحن لا نعلم فقال أما إنهم من إخوانكم ولكنهم أقوام إذا خلوا بمحارم الله
انتهكوها
“Sungguh aku mengetahui sebuah kaum dari umatku yang datang pada hari
kiamat dengan membawa kebaikan yang banyak seperti[1] bukit Tihamah
kemudian Allah menjadikannya seperti debu yang beterbangan.” Maka mereka
-sahabat- bertanya, “Wahai Rasulullah, berikanlah ciri mereka kepada
kami agar kami tidak termasuk golongan mereka dalam keadaan tidak
sadar.” Maka beliau menjawab, “Adapun, mereka itu adalah saudara-saudara
kalian, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang apabila bersepi-sepi
dengan apa yang diharamkan Allah maka mereka pun menerjangnya.”
Allah telah menguji orang-orang yahudi dengan ikan. Allah berfirman,
}وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ
إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ
سَبْتِهِمْ شُرَّعاً وَيَوْمَ لا يَسْبِتُونَ لا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ
نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ| (لأعراف:163
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di
dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu
datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada disekitar) mereka
terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan
itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka
disebabkan mereka berlaku fasik”. (QS. 7:163)
Lihatlah… Allah memudahkan bagi mereka sebab-sebab untuk melakukan
kemaksiatan. Namun mereka (orang-orang Yahudi) tersebut tidak sabar
dengan ujian Allah padahal mereka yakin bahwa Allah mengawasi
gerak-gerik mereka, oleh karena itu mereka tidak melanggar perintah
Allah secara langsung tetapi mereka melakukan hilah yang akhirnya Allah
merubah mereka menjadi kera-kera yang hina.
Allah pun telah menguji para sahabat Nabi. Allah berfirman,
}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ بِشَيْءٍ
مِنَ الصَّيْدِ تَنَالُهُ أَيْدِيكُمْ وَرِمَاحُكُمْ لِيَعْلَمَ اللَّهُ
مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ
أَلِيمٌ| (المائدة:94)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu
dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan
tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia
tidak dapat melihat-Nya. Barangsiapa yang melanggar batas sesudah itu,
maka baginya azab yang pedih” (Al-Maidah : 94)
Dari Muqotil bin Hayyan, bahwasanya ayat ini turun tatkala umroh
Hudaibiyah, tatkala itu muncul banyak sekali zebra, burung, dan
hewan-hewan buruan yang lain di tengah perjalanan para sahabat (yang
sedang dalam keadaan berihram umroh), mereka tidak pernah menjumpai yang
seperti ini sebelumnya, namun Allah melarang mereka untuk berburu
hewan-hewan tersebut.[2] Sampai-sampai saking terlalu jinaknya
hewan-hewan tersebut maka mereka bisa mengambil langsung hewan-hewan
buruan yang kecil dengan tangan-tangan mereka, adapun hewan-hewan buruan
yang besar maka mereka bisa dengan mudah menombaknya[3]
Dalam ayat ini | لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ } Allah menta’kid
(menekankan) dengan sumpah[4] untuk menunjukan bahwa apa yang sedang
mereka hadapi berupa jinaknya hewan-hewan buruan, tidaklah Allah
menjadikan hewan-hewan tersebut jinak kecuali karena untuk menguji
mereka.[5]
Adapun nakiroh pada kalimat | بِشَيْءٍ } menunjukan bahwa cobaan yang
Allah turunkan pada mereka bukanlah cobaan yang sangat mengerikan yang
menyebabkan terbunuhnya nyawa dan rusaknya harta benda, namun cobaan
yang Allah berikan kepada para sahabat pada ayat ini adalah semisal
cobaan yang Allah berikan kepada penduduk negeri Ailah (orang-orang
yahudi) berupa ikan-ikan yang banyak mengapung di permukaan laut namun
Allah melarang mereka untuk menangkapnya[6]. Dan faedah dari cobaan yang
tergolong “ringan” ini adalah untuk mengingatkan mereka bahwa
barangsiapa yang tidak bisa tegar menghadapi seperti cobaan ini maka
bagaimana ia bisa tegar jika menghadapi cobaan yang sangat berat. Oleh
karena itu huruf | مِنَ } dalam ayat ini | مِنَ الصَّيْدِ } ini jelas
adalah bayaniah dan bukan tab’idhiyah.[7]
Jika seorang hamba merasakan bahwa dirinya dimudahkan untuk melakukan
kemaksiatan, jalan-jalan menuju kemaksiatan terbuka lapang baginya maka
ketahuilah bahwa ia sedang diuji oleh Allah…ingatlah bahwa Allah yang
sedang mengujinya juga sedang mengawasinya, maka takutlah ia kepada
Allah. Inilah ujian yang hakiki, dan Allah akan memberikan ganjaran yang
besar baginya karena kekuatan imannya. Barangsiapa yang meninggalkan
kemaksiatan padahal sangat mudah baginya untuk melakukannya maka
ketahuilah bahwa itu adalah kabar gembira baginya karena hal itu
merupakan indikasi imannya yang kuat. Barangsiapa yang bermaksiat kepada
Allah dalam keadaan bersendirian maka ketahuliah bahwa imannya ternyata
lemah, dan hendaknya ia takut kepada adzab yang Allah janjikan kepada
orang-orang yang melanggar perintahNya.
Oleh karena itu di akhir ayat Allah berfirman | لِيَعْلَمَ اللَّهُ
مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ }, inilah hikmah dari ujian yang Allah
berikan kepada para sahabat yang sebagian mereka bisa saja mengambil
hewan-hewan buruan tersebut dengan mudahnya baik secara terang-terangan
maupun secara sembunyi-sembunyi. Dengan ujian ini akan nampak siapakah
dari hamba-hamba Allah yang takut dan bertakwa kepada Allah baik secara
terang-terangan maupun tatkala bersendirian.
Hal ini sebagaimana firman Allah
}إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ| (الملك:12(
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabbnya Yang tidak tampak
oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar”.
(QS. 67:12)[8]
Ujian yang diberikan oleh Allah agar terbedakan hamba Allah yang
karena keimanannya yang kuat maka takut kepada adzab Allah di akhirat
yang meyakini bahwasanya Allah senantiasa mengawasinya meskipun ia tidak
melihatNya, agar terbedakan dari hamba yang lemah imannya sehingga
berani melanggar perintah Allah…[9], sehingga Allah memberinya ganjaran
yang besar…adapun menampakan rasa takut kepada Allah dihadapan khalayak
maka bisa jadi ia melakukannya karena takut kepada Allah maka ia tidak
mendapatkan ganjaran…[10].
Kewajiban Mendahulukan Wahyu Atas Hawa Nafsu
Dari Abu Muhammad, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash, dia berkata:
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Tidak beriman salah
seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku
bawa.” (Hadits hasan shahih dan kami riwayatkan dari kitab al-Hujjah
dengan sanad yang shahih).
PENJELASAN:
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash tergolong sahabat yang banyak
meriwayatkan hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, sebab ia
sebagai penulis wahyu, sehingga Abu Hurairah merasa ingin mengunggulinya
(ghibthah). Abu Hurairah berkata: “Saya tidak tahu orang yang
mengungguliku dalam periwayatan hadits Rasulullah, selain ‘Abdullah bin
‘Amr, sebab ia menulis sedangkan aku tidak menulis. (2)
Sabda beliau: احدكم لايؤمن (tidak beriman salah seorang di antara
kalian), artinya: iman secara sempurna. ه حتى يكون هوا (hingga hawa
nafsunya), artinya: arah dan tujuannya (sesuai/mengikuti syari’at Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Imam an-Nawawi berkata: “Hadits hasan shahih dan kami riwayatkan dari kitab al-Hujjah
dengan sanad yang shahih.” Ibnu Rajab mengomentari penilaian Imam
an-Nawawi akan riwayat ini, ia berkata: “Hadits ini tidak shahih (namun
dha’if).” Sebab itu saya anjurkan untuk membaca syarah lbnu Rajab dan
komentarnya tentang derajat hadits yang ada dalam kitab al-Arba’in ini.
Sebab beliau termasuk pakar hadits. Apabila ia mencacatkan hadits-hadits
yang disebutkan Imam an-Nawawi niscaya akan jelas bagi kita alasannya.
Akan tetapi makna hadits ini benar, tanpa harus melihat sanadnya,
sebab hawa nafsu manusia harus mengikuti risalah yang dibawakan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.
BEBERAPA FAEDAH (PELAJARAN) DARI HADITS INI:
1. Peringatan bagi manusia untuk tidak mengedepankan akal atau adat
istiadat di atas risalah yang dibawakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sebab ketidaksempurnaan iman ini dapat menafikan keimanan
darinya.
Apabila seseorang berkata: mengapa kalian mengartikannya dengan ‘tidak beriman secara sempurna?’
Jawaban: kami mengartikannya demikian sebab tidak mungkin hal ini
terjadi dalam setiap permasalahan. Bisa jadi hawa nafsunya mengikuti
banyak hal yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
namun dalam sebagian yang lain tidak mengikutinya, maka dari itu
diartikan ‘tidak beriman secara sempurna’. Dan kita katakan: apabila
hawa nafsunya menolak semua (perkara agama) yang datang dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia menjadi orang yang murtad
(kafir).
2. Wajib atas seseorang untuk mendahulukan mencari dalil, sebelum
memutuskan suatu hukum, bukan menghukumi dulu lantas mencari dalil.
Artinya: jika Anda ingin menetapkan suatu hukum dalam hal keyakinan atau
amalan yang zhahir, maka kewajiban Anda yang pertama adalah mencari
dalil, kemudian menetapkannya. Adapun sikap sebaliknya (Anda menetapkan
dulu lalu mencari dalil), itu berarti Anda menjadikan diri Anda sebagai matbu’ (yang harus diikuti) oleh para tabi’
(yang mengikuti). Dengan kata lain, jika demikian Anda telah menjadikan
akal sebagai sumber rujukan pokok, sedangkan al-Qur’an dan as-Sunnah
sebagai cabangnya.
Sebab itu Anda dapatkan sebagian ulama – semoga Allah merahmati dan
memaafkan mereka – yang mendewa-dewakan madzhab mereka. Madzhab itu
mereka jadikan dalil dan rujukan pokok bagi para pengikut madzhab
mereka, kemudian mereka berupaya memutar-mutarkan ‘tengkuk’ nash
(al-Qur-an dan as-Sunnah) agar sesuai dengan apa yang dinyatakan madzhab
mereka dengan cara yang tidak tepat. Ini termasuk musibah yang menimpa
sebagian ulama. Maka yang wajib atasmu adalah menjadikan hawa nafsu
mengikuti apa yang datang dari syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
3. Pembagian hawa nafsu kepada terpuji dan tercela. Pada dasarnya,
ketika hawa nafsu dikatakan secara umum, maka yang dimaksud adalah hawa
nafsu yang tercela, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur-an dan
al-Hadits. Setiap yang Allah sebutkan dalam hal mengikuti hawa nafsu,
secara otomatis itu berarti jelek. Namun hadits ini menunjukkan bahwa
hawa nafsu dapat diarahkan agar mengikuti syari’at yang dibawa oleh Nabi
shalallahu ‘alaihi wa salam. Dengan kata lain, hawa nafsu itu terbagi
dua bagian: Pertama terpuji, yaitu manakala ia mengikuti apa yang
dibawakan Rasulullah. Kedua: tercela, yaitu yang menyelisihi hal di
atas. Namun ketika disebutkan secara mutlak, maka pengertiannya adalah
hawa nafsu yang tercela, sehingga dikatakan: “Hidayah lawannya adalah
hawa nafsu.”
4. Kewajiban menerapkan hukum syari’at Islam dalam segala hal,
berdasarkan sabda beliau: تبعاُ لما جئت به “mengikuti apa yang aku
bawa.” Sedangkan Rasulullah diturunkan dengan membawa segala hal yang
akan bermanfaat bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah
Ta’ala berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur-an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS. An-Nahl: 89)
Tidak ada satu pun di antara persoalan yang dibutuhkan manusia, baik
dalam hal akhirat atau dunia – alhamdulillah – seluruhnya telah
dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, entah penjelasannya
gamblang, setiap orang mengetahuinya, atau penjelasan bagi sesuatu yang
sulit, yang hanya diketahui oleh orang-orang yang kuat dalam hal
keilmuannya (ulama).
5. Iman itu bersifat bertambah dan berkurang, sebagaimana yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.
Wallaahu a’lam.
Larangan Mencaci Maki Angin
Terkadang kita suka mendengar seseorang yang kesal kemudian
keluar sumpah serapah tatkala merasakan angin yang kuat berhembus
membanting pintu atau jendela rumahnya. Mungkin tidak disadari bahwa
sesungguhnya itu adalah perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh
seorang muslim.
Mencaci maki angin telah dilarang oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa salam karena Allah-lah yang telah mengatur angin sesuai dengan
kehendakNya, baik itu akan membawa kebaikan maupun keburukan bagi
manusia. Bahkan Rasulullah shalallahu ’alaihi wa salam mengajari kita
untuk berdo’a tatkala angin berhembus. Di antara hadits yang melarang
mencaci maki angin adalah sebagai berikut:
Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda:
لا تسبواالريح فإذا رايتم ما نكرهون
فقولوا : اللهم انا نسالك من خير هذا الريح و خير ما امرث به, و نعوذبك من
شر هذا الريح, و شر ما فيها, وشر ما امرت به – اخرجه الترمذي
“Janganlah kalian mengutuk angin. Jika
kalian mendapati suatu hal yang kalian benci, maka katakanlah, “Ya
Allah, kami memohon perlindungan kepada-Mu akan kebaikan angin ini dan
kebaikan yang dibawanya, dan kami berlindung
kepada-Mu dan keburukan angin ini dan kejahatan yang dibawa olehnya,
serta kejahatan yang ada di dalamnya.“ (1)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda:
لا تسبواالريح فإنها من روح الله
تعالى تاتي بالرحمة و العذاب . ولكن سلواالله من خيرها و تعوذوا بالله من
شرها – اخرجه احمد و ابن ماجه
“Janganlah kamu mengutuk angin karena angin itu berasal dari Allah
yang berhembus membawa rahmat dan azab. Namun mintalah kepada Allah akan
kebaikannya dan berlindunglah kepada-Nya dari keburukannya. “ (2)
Manfaat dan Faidah Dzikir
Dalam surat al-Ahzab ayat 41 Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya.”
Di sini Allah memerintahkan kita untuk berdzikir sebanyak-banyaknya.
Orang yang banyak berdzikir berarti memiliki hati yang hidup. Dia selalu
sadar akan keadaannya sebagai seorang hamba yang fakir dan butuh kepada
Allah serta hatinya dipenuhi dengan pengagungan dan pujian terhadap
Allah. Perumpaan orang yang berdzikir dan yang tidak berdzikir adalah
seperti orang yang hidup dan orang yang mati.
Namun barangkali kita belum menyadari apa sajakah manfaat dzikir bagi
pelakunya? Ibnul Qayyim al-Jauziyyah telah menyebutkan banyak manfaat
dan faidah dzikir yang bisa menambah motivasi kepada kita untuk banyak
berdzikir. Faidah dzikir banyak sekali, bisa mencapai seratus lebih.
Sebagian di antaranya:
Pertama: Mengusir syetan, menundukkan dan mengenyahkannya.
Kedua: Membuat Allah ridha.
Ketiga: Menghilangkan kesedihan dan kemuraman hati.
Keempat: Mendatangkan kegembiraan dan kesenangan di dalam hati.
Kelima: Menguatkan hati dan badan.
Keenam: Membuat hati dan wajah berseri.
Ketujuh: Melapangkan rezki.
Kedelapan: Menimbulkan rasa percaya diri dan kharisma.
Kesembilan: Menumbuhkan rasa cinta yang merupakan ruh Islam, menjadi
inti agama, poros kebahagiaan dan keselamatan. Allah telah menjadikan
segala sesuatu ada sebabnya. Maka Dia menjadikan sebab cinta adalah
dzikir secara terus-menerus. Barangsiapa ingin mendapatkan cinta Allah,
maka hendaklah dia senantiasa berdzikir dan mengingat Allah. Belajar dan
mengingat merupakan pintu ilmu. Dzikir merupakan pintu cinta, dan jalan
untuk itu sangat besar dan lurus.
Kesepuluh: Menumbuhkan perasaan bahwa dirinya diawasi, sehingga
mendorongnya untuk selalu berbuat bajik. Dia beribadah kepada Allah
seakan-akan Allah melihat dirinya secara langsung. Tapi orang yang lalai
untuk berdzikir tidak akan sampai kepada kebajikan, sebagaimana orang
yang hanya duduk saja tidak akan sampai ke tempat tujuan.
Kesebelas: Membuahkan ketundukan, yaitu berupa diri kepasrahan kepada
Allah dan kembali kepada-Nya. Selagi dia lebih banyak kembali kepada
Allah dengan cara menyebut asma-Nya, maka dalam keadaan seperti apa pun
dia akan kembali kepada Allah dengan hatinya, sehingga Allah menjadi
tempat mengadu dan tempat kembali, kebahagiaan dan kesenangannya, tempat
bergantung tatkala mendapat bencana dan musibah.
Kedua belas: Membuahkan kedekatan kepada Allah. Seberapa jauh dia
melakukan dzikir kepada Allah, maka sejauh itu pula kedekatannya dengan
Allah, dan seberapa jauh dia lalai melakukan dzikir, maka sejauh itu
jarak yang memisahkannya dengan Allah.
Ketiga belas: Membukakan pintu yang lebar dan berbagai pintu
ma’rifat. Semakin banyak dia berdzikir, maka semakin lebar pintu yang
terpampang di hadapannya.
Keempat belas: Membuahkan keengganan kepada Allah dan
pengagungan-Nya, karena dia merasakan kebersamaan dengan Allah. Berbeda
dengan orang yang lalai. Tabir keengganan ini sangat tipis di dalam
hatinya.
Kelima belas: Membuatnya selalu diingat Allah, sebagaimana
firman-Nya, “Maka ingatlah Aku, niscaya Aku mengingat kalian.
“(Al-Baqarah: 152).
Keenam belas: Membangkitkan kehidupan di dalam hati. Kami pernah
mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dzikir bagi hati sama
dengan air bagi ikan. Apa yang terjadi dengan ikan andaikan dia
dipisahkan dari air?”
Ketujuh belas: Dzikir merupakan santapan hati dan ruh. Jika hati dan
ruh kehilangan santapannya, maka sama dengan badan yang tidak
mendapatkan santapannya. Suatu kali kami menemui Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah yang sedang shalat subuh. Seusai shalat dia berdzikir kepada
Allah hingga hampir tengah hari. Pada saat itu dia menengok ke arahku
seraya berkata, “Inilah santapanku. Andaikan aku tidak mendapatkan
santapan ini, tentu kekuatanku akan hilang.”
Kedelapan belas: Membersihkan hati dari karatnya, seperti yang sudah
kami uraikan di bagian atas. Segala sesuatu ada karatnya. Karat hati
adalah lalai dan hawa nafsu. Sedang untuk membersihkan karat ini ialah
dengan taubat dan istighfar.
Kesembilan belas: Menyingkirkan kesalahan dan mengenyahkannya. Dzikir
merupakan kebaikan yang paling agung. Sementara kebaikan dapat
menyingkirkan keburukan.
Kedua puluh: Menyelamatkannya dari adzab Allah, sebagaimana yang
dikatakan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dan dia memarfu’kannya,
“Tidak ada amal yang dilakukan anak Adam yang lebih menyelamatkannya
dari adzab Allah selain dari dzikir kepada Allah.
Kedua puluh satu: Dzikir memberikan rasa aman dari penyesalan pada
hari kiamat. Karena majelis yang di dalamnya tidak ada dzikir kepada
Allah, maka akan menjadi penyesalan bagi pelakunya pada hari kiamat.
Kedua puluh dua: Dzikir merupakan ibadah yang paling mudah, namun
paling agung dan paling utama. Sebab gerakan lidah merupakan gerakan
anggota tubuh yang paling ringan dan paling mudah. Andaikan ada anggota
tubuh lain yang harus bergerak seperti gerakan lidah sehari semalam,
tentu ia akan kesulitan melaksanakannya dan bahkan tidak mungkin.
Kedua puluh tiga: Dzikir merupakan tanaman surga, sebagaimana yang
diriwayatkan at-Tirmidzy dari hadits Abdullah bin Mas’ud dia berkata,
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda yang artinya, “Pada
malam aku diisra’kan, aku bertemu Ibrahim al-Khalil ‘alaihi salam seraya
berkata kepadaku, “Hai Muhammad, sampaikanlah salamku kepada umatmu,
dan beritahukanlah kepada mereka bahwa surga itu bagus tanahnya, segar
airnya, dan bahwa surga itu merupakan kebun, sedangkan tanamannya adalah
subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah, wallahu akbar.”
Menurut at-Tirmidzy ini hadits hasan gharib. Dia juga meriwayatkan dari
Abu Zubair dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda, “
Barangsiapa mengucapkan ‘subhanallah wa bihamdihi’, maka ditanamkan
baginya pohon kurma di surga.” Menurut at-Tirmidzy ini hadits hasan
shahih.
Kedua puluh empat: Terus menerus dzikir kepada Allah membuatnya tidak
melalaikan Allah. Padahal lalai mengingat Allah merupakan sebab
penderitaan hamba di dunia dan di akhirat. Siapa yang melalaikan Allah
juga akan lalai terhadap dirinya sendiri dan kemaslahatannya.
Dzikir Pagi dan Petang
Ada banyak do’a dan dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam. Diantaranya adalah do’a dan dzikir yang berkaitan
dengan ibadah tertentu seperti setelah shalat dan saat ibadah haji dan
umrah, dzikir sehari-hari seperti setelah bangun tidur, saat hujan
turun, bangun tidur, masuk kamar mandi dan sebagainya, serta dzikir pagi
dan petang. Mungkin masih banyak kaum muslimin yang belum tahu dan
belum mengamalkan dzikir pagi dan petang, padahal begitu besar manfaat dan faidah berdzikir.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa waktu pagi yang dimaksud adalah antara
subuh hingga terbit matahari dan waktu petang adalah antara ashar
hingga tenggelamnya matahari. Dalam surat al-Ahzab ayat 41 -42 Allah
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا - وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah
sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan
petang.”
Al-Jauhary berkata, “Ashil artinya waktu antara ashar dan maghrib. Bentuk jamaknya ushul, ashal, asha’il.”
Seorang penyair berkata, “Sungguh kau adalah rumah yang penghuninya dimuliakan, aku duduk di pojok-pojoknya antara ashar dan maghrib.”
Allah juga berfirman,
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالإبْكَارِ
“Maka bersabarlah, sesungguhnya janji Allah itu benar dan
mohonlah ampunan atas dosamu dan bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu di
waktu petang dan pagi.” (al-Mukmin: 55)
Al-ibkar artinya awal siang hari, sedangkan al-‘asyi artinya akhir siang hari. Allah juga berfirman,
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ
“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan
bertasbihlah sambil memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenam(nya).” (Qaf: 39)
Ini merupakan penafsiran dari apa yang disebutkan dalam berbagai
hadits, bahwa siapa yang berkata begini dan begitu pada pagi dan petang
hari …, maksudnya adalah sebelum terbit matahari dan sebelum
tenggelamnya. Mulainya dari sesudah subuh dan sesudah ashar.
Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda, “Barang
siapa berkata pada pagi dan petang hari سُبْحَانَ اللهُ وَ بِحَمْدِهِ (subhanallahi wa bihamdihi)
seratus kali, maka tidak ada seorang pun yang datang pada hari kiamat
sambil membawa sesuatu yang lebih baik dari apa yang dibawanya, kecuali
seseorang yang berkata seperti yang dikatakannya atau lebih dari itu.”
Di dalam as-Sunan disebutkan dari Abdullah bin Khubaib, dia berkata,
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadanya,
“Katakanlah!” Dia bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus
kukatakan?” Beliau menjawab, “Katakanlah Qul huwallahu ahad dan mu’awwidzatain
(surat al-Falaq dan an-Naas) ketika engkau memasuki waktu petang dan
pagi sebanyak tiga kali, niscaya sudah membuatmu cukup dalam segala
sesuatu.” (menurut at-Tirmidzy ini adalah hadits hasan shahih).
Dan masih banyak lagi contoh-contoh do’a dan dzikir yang diajarkan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam yang dibaca saat pagi dan petang.
Bagi yang ingin mendengarkan dan menghafal dzikir-dzikir tersebut bisa
mendownload file mp3 berikut ini:
Anda juga bisa menyimak melalui Radio Rodja gelombang 756 AM atau melalui internet live streaming setiap ba’da subuh dan ashar. Dan bagi anda pengguna iPhone dan iPad bisa mendownload aplikasi dzikir iAzkar di App Store.
Pada Hal Apa Sajakah Suatu Amal Bisa Menjadi Bid’ah?
Istilah bid’ah sudah gencar disuarakan oleh para ulama sebagai
peringatan bagi kaum muslimin agar menjauhinya. Mengapa tidak? Karena
orang-orang yang melakukan perbuatan bid’ah tidak sadar dan tidak merasa
telah berbuat kesalahan. Mereka merasa sedang melakukan suatu amal
shalih dan berharap pahala darinya. Itulah salah satu bahaya terbesar
dari perbuatan bid’ah sebagaimana dikatakan seorang ulama tabi’in, Ali
bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa
dia mendengar Sufyan (ats-Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai
Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu
lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 dan Ibnul Jauzi
dalam Talbis Iblis). Ya, pelaku maksiat biasanya dia menyadari bahwa dia
telah berbuat dosa dan lebih besar harapannya dia suatu saat akan
bertaubat. Tapi pelaku bid’ah..?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pun telah memperingatkan tentang perbuatan bid’ah ini dalam sebuah haditsnya,
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ” رواه البخاري ومسلم , وفي رواية لمسلم ” من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini
yang bukan dari kami, maka dia tertolak”. (Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)
Para ulama telah sepakat bahwa suatu amal ibadah tidak sah kecuali
bila berkumpul padanya dua syarat: Pertama, adanya ke ikhlasan. Kedua,
mengikuti contoh dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam
(mutaba’ah). Dan satu kaidah penting yang bisa kita pegang dalam masalah
ibadah ini adalah bahwasanya asal dari setiap ibadah adalah haram
sampai ada dalil yang memerintahkannya. Ini berbeda dengan muamalah yang
pada asalnya adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Dari
sini kita bisa memahami kesalahan sebagian orang yang berkata, “mana
dalilnya bahwa perbuatan ibadah saya ini terlarang?” Seharusnya orang
itulah yang justru harus mendatangkan dalil yang mendasari perbuatan
ibadahnya itu. Niat yang baik tidak akan menjadikan suatu amalan bid’ah
menjadi amal shalih karena telah melanggar syarat kedua sahnya ibadah,
yaitu mutaba’ah.
Jika ada seseorang berkata: “Apabila saya berbuat sesuatu yang baru,
asalnya dari syari’at, akan tetapi saya menjadikannya dengan sifat yang
khusus yang tidak ada dalam syari’at, apakah yang demikian juga berarti
akan tertolak?”
Maka jawabannya adalah akan tertolak. Berikut penjelasan dari Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin tatkala menjelaskan hadits di atas.
Ketahuilah, bahwa mutaba’ah tidak akan terwujud apabila amalan
tersebut tidak sesuai dengan syari’at dalam enam hal, yakni: sebabnya,
jenisnya, ukurannya, teknisnya, waktunya, dan tempatnya. Apabila tidak
sesuai dengan syari’at dalam enam hal ini, maka amalan tersebut
dikatakan bathil dan tertolak, sebab ia melakukan suatu hal dalam agama
Allah yang tidak ada sandaran darinya.
Pertama: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam sebabnya. Hal ini
seperti seseorang melakukan ibadah dengan sebab yang tidak pernah Allah
sebutkan, misalkan dia shalat dua raka’at setiap kali memasuki rumahnya
dan menjadikan hal ini sebagai perbuatan sunnah. Seperti ini tertolak.
Walaupun perkara shalat pada dasarnya disyari’atkan, tetapi ketika ia
kaitkan dengan sebab yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal ini
mengakibatkan ibadah tersebut tertolak. Contoh yang lain, apabila
seseorang membuat semacam perayaan dengan sebab kemenangan kaum Muslimin
pada perang Badar, maka hal ini pun tertolak, sebab ia mengaitkannya
kepada sebab yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kedua: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Apabila
seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah yang tidak pernah
disyari’atkan agama dalam hal jenisnya, maka hal itu tidak akan
diterima. Sebagai contoh, bila seseorang berkurban dengan kuda, maka hal
ini tertolak, sebab menyelisihi perintah syari’at dalam hal jenis,
dimana syari’at Islam memerintahkan berkurban harus dari jenis binatang
ternak tertentu yaitu unta, sapi dan kambing. Adapun seseorang yang
memotong kuda dengan niat menshadaqahkan dagingnya maka hal itu
diperbolehkan, sebab ia tidak dikatakan berkurban kepada Allah dengan
menyembelihnya, namun hanya menyembelihnya untuk dishadaqahkan
dagingnya.
Ketiga: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam hal ukurannya.
Apabila seseorang beribadah kepada Allah dengan ukuran yang lebih dari
ukuran yang telah ditentukan syari’at maka hal itu tidak akan diterima.
Sebagai contoh, bila seseorang berwudhu dengan membasuh setiap bagian
sebanyak empat kali, maka yang keempatnya tertolak, sebab hal itu
melebihi ketentuan syari’at. Bahkan disebutkan dalam sebuab hadits
bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam berwudhu tiga kali-tiga
kali, lalu beliau bersabda:
من زاد على ذلك فقد اساء و تعدى و ظلم
“Barangsiapa yang melebihkannya, maka ia telah berbuat jelek melampaui batas dan berbuat kezhaliman.”
(HR Imam Ahmad dalam Musnad al-Mukatsirin no 6684, an-Nasa’i kitab
ath-Thaharah bab al-I’tidaa fil Wudhu no 140, dan Ibnu Majah kitab
at-Thaharah wa Sunaniha bab Ja’a fil Qasdi fil Wudhu’i wa Karahatut
Ta’addi Fiih no 422, Hadits hasan seperti disebutkan Shahihul Jami’ no
6989)
Keempat: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam hal teknisnya.
Apabila seseorang mengamalkan sesuatu dalam rangka beribadah kepada-Nya
tetapi menyelisihi syari’at dalam hal teknisnya, maka tidak akan
diterima, dan hal itu tertolak. Contoh, seseorang shalat, ia langsung
bersujud sebelum melakukan ruku, maka shalatnya tidak sah dan tertolak,
sebab tidak sesuai dengan teknis tuntunan syari’at. Demikian pula dalam
hal wudhu dengan cara berbalik seperti memulai dengan membasuh kaki
sebelum mengusap kepala setelah itu membasuh tangan lalu muka, apabila
berwudhu dengan teknis seperti ini maka tidak sah, sebab tidak mengikuti
perintah syari’at dalam hal teknis atau tata caranya.
Kelima: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam hal waktunya. Bila
seseorang shalat sebelum masuk waktunya, maka shalatnya tidak mungkin
diterima sebab ia menyelisihi waktu yang telah ditentukan syari’at. Juga
bila menyembelih kurban sebelum mengadakan shalat ‘Id, inipun tertolak,
sebab menyelisihi waktu yang telah ditentukan syari’at. Apabila
seseorang beri’tikaf pada selain waktunya, maka hal itu tidak sesuai
dengan pedomannya, namun hal ini diperbolehkan sebab Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa salam membolehkan ‘Umar bin al-Khaththab
radhiyallahu ‘anhu beritikaf di Masjidil Haram ketika beliau bernadzar.
Apabila seseorang mengakhirkan suatu ibadah yang telah ditentukan
waktunya oleh syari’at tanpa adanya alasan yang dibenarkan, seperti
shalat shubuh setelah terbit matahari tanpa udzur, maka (dengan sikap
seperti ini) shalatnya tertolak, sebab ia telah beramal dengan amalan
yang tidak bersumber dan Allah dan Rasul-Nya.
Keenam: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam ketentuan tempat.
Apabila seseorang beri’tikaf di sekolah atau di rumah, bukan di mesjid,
maka amalannya ini tidak sah, sebab tidak sesuai dengan tuntunan
syari’at dalam ketentuan tempatnya, di mana ibadah i‘tikaf harus
dilakukan di masjid.
Demikianlah enam hal tempat terjadinya perbuatan bid’ah, semoga bisa menambah pemahaman kita tentang bid’ah.
Langganan:
Postingan (Atom)