dua kuntum mawar dari bukit zamrud

dua kuntum mawar dari bukit zamrud

Sabtu, 29 Desember 2012

Ujian Hakiki

Sebagian orang tatkala berada dihadapan orang lain maka ia mampu dengan mudahnya meninggalkan kemaksiatan, bahkan ia mampu untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Ia mampu melaksanakan itu semua meskipun ia berada di tengah-tengah kondisi masyarakat yang tenggelam dalam lautan kemaksiatan. Ini adalah suatu kemuliaan karena ia bisa menghadapi ujian dengan baik sehingga terhindar dari kemaksiatan. Namun ingat sesungguhnya bukan ini ujian yang sebenarnya.
Allah telah melarang para hambanya untuk bermaksiat kepadanya baik secara terang-terangan atau tatkala ia bersendirian tatkala tidak ada orang lain yang melihatnya. Seseorang yang mencegah dirinya dari melakukan kemaksiatan dihadapan khalayak tentunya berbeda dengan orang yang mencegah dirinya dari melakukan kemaksiatan tatkala ia bersendirian.
Sesungguhnya ujian yang hakiki adalah ujian yang dihadapi seorang hamba tatkala ia sedang bersendirian kemudian tersedia dihadapannya sarana dan prasarana serta kemudahan baginya untuk melakukan kemaksiatan, apakah ia mampu mencegah dirinya dari kemaksiatan tersebut?? Inilah ujian yang hakiki, ujian yang sangat berat, beruntunglah bagi mereka yang bisa selamat dari ujian ini.
Ketahuliah…, orang yang mampu menghindarkan dirinya dari kemaksiatan tatkala dihadapan orang lain namun ia terjerumus dalam kemaksiatan tatkala ia sedang bersendirian merupakan orang yang tercela.
Rasulullah salallah wa’alaihi wasallam pernah bersabda,
لألفين أقواما من أمتي يأتون يوم القيامة بحسنات أمثال جبال تهامة فيجعلها الله هباء منثورا فقالوا يا رسول الله صفهم لنا لكي لا نكون منهم ونحن لا نعلم فقال أما إنهم من إخوانكم ولكنهم أقوام إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها
“Sungguh aku mengetahui sebuah kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan yang banyak seperti[1] bukit Tihamah kemudian Allah menjadikannya seperti debu yang beterbangan.” Maka mereka -sahabat- bertanya, “Wahai Rasulullah, berikanlah ciri mereka kepada kami agar kami tidak termasuk golongan mereka dalam keadaan tidak sadar.” Maka beliau menjawab, “Adapun, mereka itu adalah saudara-saudara kalian, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang apabila bersepi-sepi dengan apa yang diharamkan Allah maka mereka pun menerjangnya.”
Allah telah menguji orang-orang yahudi dengan ikan. Allah berfirman,
}وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعاً وَيَوْمَ لا يَسْبِتُونَ لا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ| (لأعراف:163
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada disekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik”. (QS. 7:163)
Lihatlah… Allah memudahkan bagi mereka sebab-sebab untuk melakukan kemaksiatan. Namun mereka (orang-orang Yahudi) tersebut tidak sabar dengan ujian Allah padahal mereka yakin bahwa Allah mengawasi gerak-gerik mereka, oleh karena itu mereka tidak melanggar perintah Allah secara langsung tetapi mereka melakukan hilah yang akhirnya Allah merubah mereka menjadi kera-kera yang hina.
Allah pun telah menguji para sahabat Nabi. Allah berfirman,
}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ بِشَيْءٍ مِنَ الصَّيْدِ تَنَالُهُ أَيْدِيكُمْ وَرِمَاحُكُمْ لِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ| (المائدة:94)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Barangsiapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang pedih” (Al-Maidah : 94)
Dari Muqotil bin Hayyan, bahwasanya ayat ini turun tatkala umroh Hudaibiyah, tatkala itu muncul banyak sekali zebra, burung, dan hewan-hewan buruan yang lain di tengah perjalanan para sahabat (yang sedang dalam keadaan berihram umroh), mereka tidak pernah menjumpai yang seperti ini sebelumnya, namun Allah melarang mereka untuk berburu hewan-hewan tersebut.[2] Sampai-sampai saking terlalu jinaknya hewan-hewan tersebut maka mereka bisa mengambil langsung hewan-hewan buruan yang kecil dengan tangan-tangan mereka, adapun hewan-hewan buruan yang besar maka mereka bisa dengan mudah menombaknya[3]
Dalam ayat ini | لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ } Allah menta’kid (menekankan) dengan sumpah[4] untuk menunjukan bahwa apa yang sedang mereka hadapi berupa jinaknya hewan-hewan buruan, tidaklah Allah menjadikan hewan-hewan tersebut jinak kecuali karena untuk menguji mereka.[5]
Adapun nakiroh pada kalimat | بِشَيْءٍ } menunjukan bahwa cobaan yang Allah turunkan pada mereka bukanlah cobaan yang sangat mengerikan yang menyebabkan terbunuhnya nyawa dan rusaknya harta benda, namun cobaan yang Allah berikan kepada para sahabat pada ayat ini adalah semisal cobaan yang Allah berikan kepada penduduk negeri Ailah (orang-orang yahudi) berupa ikan-ikan yang banyak mengapung di permukaan laut namun Allah melarang mereka untuk menangkapnya[6]. Dan faedah dari cobaan yang tergolong “ringan” ini adalah untuk mengingatkan mereka bahwa barangsiapa yang tidak bisa tegar menghadapi seperti cobaan ini maka bagaimana ia bisa tegar jika menghadapi cobaan yang sangat berat. Oleh karena itu huruf | مِنَ } dalam ayat ini | مِنَ الصَّيْدِ } ini jelas adalah bayaniah dan bukan tab’idhiyah.[7]
Jika seorang hamba merasakan bahwa dirinya dimudahkan untuk melakukan kemaksiatan, jalan-jalan menuju kemaksiatan terbuka lapang baginya maka ketahuilah bahwa ia sedang diuji oleh Allah…ingatlah bahwa Allah yang sedang mengujinya juga sedang mengawasinya, maka takutlah ia kepada Allah. Inilah ujian yang hakiki, dan Allah akan memberikan ganjaran yang besar baginya karena kekuatan imannya. Barangsiapa yang meninggalkan kemaksiatan padahal sangat mudah baginya untuk melakukannya maka ketahuilah bahwa itu adalah kabar gembira baginya karena hal itu merupakan indikasi imannya yang kuat. Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dalam keadaan bersendirian maka ketahuliah bahwa imannya ternyata lemah, dan hendaknya ia takut kepada adzab yang Allah janjikan kepada orang-orang yang melanggar perintahNya.
Oleh karena itu di akhir ayat Allah berfirman | لِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ }, inilah hikmah dari ujian yang Allah berikan kepada para sahabat yang sebagian mereka bisa saja mengambil hewan-hewan buruan tersebut dengan mudahnya baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Dengan ujian ini akan nampak siapakah dari hamba-hamba Allah yang takut dan bertakwa kepada Allah baik secara terang-terangan maupun tatkala bersendirian.
Hal ini sebagaimana firman Allah
}إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ| (الملك:12(
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabbnya Yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar”. (QS. 67:12)[8]
Ujian yang diberikan oleh Allah agar terbedakan hamba Allah yang karena keimanannya yang kuat maka takut kepada adzab Allah di akhirat yang meyakini bahwasanya Allah senantiasa mengawasinya meskipun ia tidak melihatNya, agar terbedakan dari hamba yang lemah imannya sehingga berani melanggar perintah Allah…[9], sehingga Allah memberinya ganjaran yang besar…adapun menampakan rasa takut kepada Allah dihadapan khalayak maka bisa jadi ia melakukannya karena takut kepada Allah maka ia tidak mendapatkan ganjaran…[10].

Kewajiban Mendahulukan Wahyu Atas Hawa Nafsu

Dari Abu Muhammad, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash, dia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Hadits hasan shahih dan kami riwayatkan dari kitab al-Hujjah dengan sanad yang shahih).
PENJELASAN:
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash tergolong sahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, sebab ia sebagai penulis wahyu, sehingga Abu Hurairah merasa ingin mengunggulinya (ghibthah). Abu Hurairah berkata: “Saya tidak tahu orang yang mengungguliku dalam periwayatan hadits Rasulullah, selain ‘Abdullah bin ‘Amr, sebab ia menulis sedangkan aku tidak menulis. (2)
Sabda beliau:    احدكم لايؤمن  (tidak beriman salah seorang di antara kalian), artinya: iman secara sempurna.  ه حتى يكون هوا (hingga hawa nafsunya), artinya: arah dan tujuannya (sesuai/mengikuti syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Imam an-Nawawi berkata: “Hadits hasan shahih dan kami riwayatkan dari kitab al-Hujjah dengan sanad yang shahih.” Ibnu Rajab mengomentari penilaian Imam an-Nawawi akan riwayat ini, ia berkata: “Hadits ini tidak shahih (namun dha’if).” Sebab itu saya anjurkan untuk membaca syarah lbnu Rajab dan komentarnya tentang derajat hadits yang ada dalam kitab al-Arba’in ini. Sebab beliau termasuk pakar hadits. Apabila ia mencacatkan hadits-hadits yang disebutkan Imam an-Nawawi  niscaya akan jelas bagi kita alasannya.
Akan tetapi makna hadits ini benar, tanpa harus melihat sanadnya, sebab hawa nafsu manusia harus mengikuti risalah yang dibawakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.
BEBERAPA FAEDAH (PELAJARAN) DARI HADITS INI:
1. Peringatan bagi manusia untuk tidak mengedepankan akal atau adat istiadat di atas risalah yang dibawakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab ketidaksempurnaan iman ini dapat menafikan keimanan darinya.
Apabila seseorang berkata: mengapa kalian mengartikannya dengan ‘tidak beriman secara sempurna?’
Jawaban: kami mengartikannya demikian sebab tidak mungkin hal ini terjadi dalam setiap permasalahan. Bisa jadi hawa nafsunya mengikuti banyak hal yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dalam sebagian yang lain tidak mengikutinya, maka dari itu diartikan ‘tidak beriman secara sempurna’. Dan kita katakan: apabila hawa nafsunya menolak semua (perkara agama) yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia menjadi orang yang murtad (kafir).
2. Wajib atas seseorang untuk mendahulukan mencari dalil, sebelum memutuskan suatu hukum, bukan menghukumi dulu lantas mencari dalil. Artinya: jika Anda ingin menetapkan suatu hukum dalam hal keyakinan atau amalan yang zhahir, maka kewajiban Anda yang pertama adalah mencari dalil, kemudian menetapkannya. Adapun sikap sebaliknya (Anda menetapkan dulu lalu mencari dalil), itu berarti Anda menjadikan diri Anda sebagai matbu’ (yang harus diikuti) oleh para tabi’ (yang mengikuti). Dengan kata lain, jika demikian Anda telah menjadikan akal sebagai sumber rujukan pokok, sedangkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai cabangnya.
Sebab itu Anda dapatkan sebagian ulama – semoga Allah merahmati dan memaafkan mereka – yang mendewa-dewakan madzhab mereka. Madzhab itu mereka jadikan dalil dan rujukan pokok bagi para pengikut madzhab mereka, kemudian mereka berupaya memutar-mutarkan ‘tengkuk’ nash (al-Qur-an dan as-Sunnah) agar sesuai dengan apa yang dinyatakan madzhab mereka dengan cara yang tidak tepat. Ini termasuk musibah yang menimpa sebagian ulama. Maka yang wajib atasmu adalah menjadikan hawa nafsu mengikuti apa yang datang dari syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Pembagian hawa nafsu kepada terpuji dan tercela. Pada dasarnya, ketika hawa nafsu dikatakan secara umum, maka yang dimaksud adalah hawa nafsu yang tercela, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur-an dan al-Hadits. Setiap yang Allah sebutkan dalam hal mengikuti hawa nafsu, secara otomatis itu berarti jelek. Namun hadits ini menunjukkan bahwa hawa nafsu dapat diarahkan agar mengikuti syari’at yang dibawa oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Dengan kata lain, hawa nafsu itu terbagi dua bagian: Pertama terpuji, yaitu manakala ia mengikuti apa yang dibawakan Rasulullah. Kedua: tercela, yaitu yang menyelisihi hal di atas. Namun ketika disebutkan secara mutlak, maka pengertiannya adalah hawa nafsu yang tercela, sehingga dikatakan: “Hidayah lawannya adalah hawa nafsu.”
4. Kewajiban menerapkan hukum syari’at Islam dalam segala hal, berdasarkan sabda beliau:  تبعاُ لما جئت به “mengikuti apa yang aku bawa.” Sedangkan Rasulullah diturunkan dengan membawa segala hal yang akan bermanfaat bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah Ta’ala berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
 “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur-an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS. An-Nahl: 89)
Tidak ada satu pun di antara persoalan yang dibutuhkan manusia, baik dalam hal akhirat atau dunia – alhamdulillah – seluruhnya telah dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, entah penjelasannya gamblang, setiap orang mengetahuinya, atau penjelasan bagi sesuatu yang sulit, yang hanya diketahui oleh orang-orang yang kuat dalam hal keilmuannya (ulama).
5. Iman itu bersifat bertambah dan berkurang, sebagaimana yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.
Wallaahu a’lam.

Larangan Mencaci Maki Angin

Terkadang kita suka mendengar seseorang yang kesal kemudian keluar sumpah serapah tatkala merasakan angin yang kuat berhembus membanting pintu atau jendela rumahnya. Mungkin tidak disadari bahwa sesungguhnya itu adalah perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim.
Mencaci maki angin telah dilarang oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam karena Allah-lah yang telah mengatur angin sesuai dengan kehendakNya, baik itu akan membawa kebaikan maupun keburukan bagi manusia. Bahkan Rasulullah shalallahu ’alaihi wa salam mengajari kita untuk berdo’a tatkala angin berhembus. Di antara hadits yang melarang mencaci maki angin adalah sebagai berikut:
Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda:
لا تسبواالريح فإذا رايتم ما نكرهون فقولوا : اللهم انا نسالك من خير هذا الريح و خير ما امرث به, و نعوذبك من شر هذا الريح, و شر ما فيها, وشر ما امرت به  – اخرجه الترمذي
 “Janganlah kalian mengutuk angin. Jika kalian mendapati suatu hal yang kalian benci, maka katakanlah, “Ya Allah, kami memohon perlindungan kepada-Mu akan kebaikan angin ini dan kebaikan yang dibawanya, dan kami berlindung kepada-Mu dan keburukan angin ini dan kejahatan yang dibawa olehnya, serta kejahatan yang ada di dalamnya.“ (1)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda:
لا تسبواالريح فإنها من روح الله تعالى تاتي بالرحمة و العذاب . ولكن سلواالله من خيرها و تعوذوا بالله من شرها – اخرجه احمد و ابن ماجه
“Janganlah kamu mengutuk angin karena angin itu berasal dari Allah yang berhembus membawa rahmat dan azab. Namun mintalah kepada Allah akan kebaikannya dan berlindunglah kepada-Nya dari keburukannya. “ (2)

Manfaat dan Faidah Dzikir

Dalam surat al-Ahzab ayat 41 Allah berfirman:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya.”
Di sini Allah memerintahkan kita untuk berdzikir sebanyak-banyaknya. Orang yang banyak berdzikir berarti memiliki hati yang hidup. Dia selalu sadar akan keadaannya sebagai seorang hamba yang fakir dan butuh kepada Allah serta hatinya dipenuhi dengan pengagungan dan pujian terhadap Allah. Perumpaan orang yang berdzikir dan yang tidak berdzikir adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati.
Namun barangkali kita belum menyadari apa sajakah manfaat dzikir bagi pelakunya? Ibnul Qayyim al-Jauziyyah telah menyebutkan banyak manfaat dan faidah dzikir yang bisa menambah motivasi kepada kita untuk banyak berdzikir. Faidah dzikir banyak sekali, bisa mencapai seratus lebih. Sebagian di antaranya:
Pertama: Mengusir syetan, menundukkan dan mengenyahkannya.
Kedua: Membuat Allah ridha.
Ketiga: Menghilangkan kesedihan dan kemuraman hati.
Keempat: Mendatangkan kegembiraan dan kesenangan di dalam hati.
Kelima: Menguatkan hati dan badan.
Keenam: Membuat hati dan wajah berseri.
Ketujuh: Melapangkan rezki.
Kedelapan: Menimbulkan rasa percaya diri dan kharisma.
Kesembilan: Menumbuhkan rasa cinta yang merupakan ruh Islam, menjadi inti agama, poros kebahagiaan dan keselamatan. Allah telah menjadikan segala sesuatu ada sebabnya. Maka Dia menjadikan sebab cinta adalah dzikir secara terus-menerus. Barangsiapa ingin mendapatkan cinta Allah, maka hendaklah dia senantiasa berdzikir dan mengingat Allah. Belajar dan mengingat merupakan pintu ilmu. Dzikir merupakan pintu cinta, dan jalan untuk itu sangat besar dan lurus.
Kesepuluh: Menumbuhkan perasaan bahwa dirinya diawasi, sehingga mendorongnya untuk selalu berbuat bajik. Dia beribadah kepada Allah seakan-akan Allah melihat dirinya secara langsung. Tapi orang yang lalai untuk berdzikir tidak akan sampai kepada kebajikan, sebagaimana orang yang hanya duduk saja tidak akan sampai ke tempat tujuan.
Kesebelas: Membuahkan ketundukan, yaitu berupa diri kepasrahan kepada Allah dan kembali kepada-Nya. Selagi dia lebih banyak kembali kepada Allah dengan cara menyebut asma-Nya, maka dalam keadaan seperti apa pun dia akan kembali kepada Allah dengan hatinya, sehingga Allah menjadi tempat mengadu dan tempat kembali, kebahagiaan dan kesenangannya, tempat bergantung tatkala mendapat bencana dan musibah.
Kedua belas: Membuahkan kedekatan kepada Allah. Seberapa jauh dia melakukan dzikir kepada Allah, maka sejauh itu pula kedekatannya dengan Allah, dan seberapa jauh dia lalai melakukan dzikir, maka sejauh itu jarak yang memisahkannya dengan Allah.
Ketiga belas: Membukakan pintu yang lebar dan berbagai pintu ma’rifat. Semakin banyak dia berdzikir, maka semakin lebar pintu yang terpampang di hadapannya.
Keempat belas: Membuahkan keengganan kepada Allah dan pengagungan-Nya, karena dia merasakan kebersamaan dengan Allah. Berbeda dengan orang yang lalai. Tabir keengganan ini sangat tipis di dalam hatinya.
Kelima belas: Membuatnya selalu diingat Allah, sebagaimana firman-Nya, “Maka ingatlah Aku, niscaya Aku mengingat kalian. “(Al-Baqarah: 152).
Keenam belas: Membangkitkan kehidupan di dalam hati. Kami pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dzikir bagi hati sama dengan air bagi ikan. Apa yang terjadi dengan ikan andaikan dia dipisahkan dari air?”
Ketujuh belas: Dzikir merupakan santapan hati dan ruh. Jika hati dan ruh kehilangan santapannya, maka sama dengan badan yang tidak mendapatkan santapannya. Suatu kali kami menemui Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang sedang shalat subuh. Seusai shalat dia berdzikir kepada Allah hingga hampir tengah hari. Pada saat itu dia menengok ke arahku seraya berkata, “Inilah santapanku. Andaikan aku tidak mendapatkan santapan ini, tentu kekuatanku akan hilang.”
Kedelapan belas: Membersihkan hati dari karatnya, seperti yang sudah kami uraikan di bagian atas. Segala sesuatu ada karatnya. Karat hati adalah lalai dan hawa nafsu. Sedang untuk membersihkan karat ini ialah dengan taubat dan istighfar.
Kesembilan belas: Menyingkirkan kesalahan dan mengenyahkannya. Dzikir merupakan kebaikan yang paling agung. Sementara kebaikan dapat menyingkirkan keburukan.
Kedua puluh: Menyelamatkannya dari adzab Allah, sebagaimana yang dikatakan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dan dia memarfu’kannya, “Tidak ada amal yang dilakukan anak Adam yang lebih menyelamatkannya dari adzab Allah selain dari dzikir kepada Allah.
Kedua puluh satu: Dzikir memberikan rasa aman dari penyesalan pada hari kiamat. Karena majelis yang di dalamnya tidak ada dzikir kepada Allah, maka akan menjadi penyesalan bagi pelakunya pada hari kiamat.
Kedua puluh dua: Dzikir merupakan ibadah yang paling mudah, namun paling agung dan paling utama. Sebab gerakan lidah merupakan gerakan anggota tubuh yang paling ringan dan paling mudah. Andaikan ada anggota tubuh lain yang harus bergerak seperti gerakan lidah sehari semalam, tentu ia akan kesulitan melaksanakannya dan bahkan tidak mungkin.
Kedua puluh tiga: Dzikir merupakan tanaman surga, sebagaimana yang diriwayatkan at-Tirmidzy dari hadits Abdullah bin Mas’ud dia berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda yang artinya, “Pada malam aku diisra’kan, aku bertemu Ibrahim al-Khalil ‘alaihi salam seraya berkata kepadaku, “Hai Muhammad, sampaikanlah salamku kepada umatmu, dan beritahukanlah kepada mereka bahwa surga itu bagus tanahnya, segar airnya, dan bahwa surga itu merupakan kebun, sedangkan tanamannya adalah subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah, wallahu akbar.” Menurut at-Tirmidzy ini hadits hasan gharib. Dia juga meriwayatkan dari Abu Zubair dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda, “ Barangsiapa mengucapkan ‘subhanallah wa bihamdihi’, maka ditanamkan baginya pohon kurma di surga.” Menurut at-Tirmidzy ini hadits hasan shahih.
Kedua puluh empat: Terus menerus dzikir kepada Allah membuatnya tidak melalaikan Allah. Padahal lalai mengingat Allah merupakan sebab penderitaan hamba di dunia dan di akhirat. Siapa yang melalaikan Allah juga akan lalai terhadap dirinya sendiri dan kemaslahatannya.

Dzikir Pagi dan Petang

Ada banyak do’a dan dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Diantaranya adalah do’a dan dzikir yang berkaitan dengan ibadah tertentu seperti setelah shalat dan saat ibadah haji dan umrah, dzikir sehari-hari seperti setelah bangun tidur, saat hujan turun, bangun tidur, masuk kamar mandi dan sebagainya, serta dzikir pagi dan petang. Mungkin masih banyak kaum muslimin yang belum tahu dan belum mengamalkan dzikir pagi dan petang, padahal begitu besar manfaat dan faidah berdzikir.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa waktu pagi yang dimaksud adalah antara subuh hingga terbit matahari dan waktu petang adalah antara ashar hingga tenggelamnya matahari. Dalam surat al-Ahzab ayat 41 -42 Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا -  وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”
Al-Jauhary berkata, “Ashil artinya waktu antara ashar dan maghrib. Bentuk jamaknya ushul, ashal, asha’il.”
Seorang penyair berkata, “Sungguh kau adalah rumah yang penghuninya dimuliakan, aku duduk di pojok-pojoknya antara ashar dan maghrib.”
Allah juga berfirman,
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالإبْكَارِ
“Maka bersabarlah, sesungguhnya janji Allah itu benar dan mohonlah ampunan atas dosamu dan bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu di waktu petang dan pagi.” (al-Mukmin: 55)
Al-ibkar artinya awal siang hari, sedangkan al-‘asyi artinya akhir siang hari. Allah juga berfirman,
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ
“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya).” (Qaf: 39)
Ini merupakan penafsiran dari apa yang disebutkan dalam berbagai hadits, bahwa siapa yang berkata begini dan begitu pada pagi dan petang hari …, maksudnya adalah sebelum terbit matahari dan sebelum tenggelamnya. Mulainya dari sesudah subuh dan sesudah ashar.
Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda, “Barang siapa berkata pada pagi dan petang hari سُبْحَانَ اللهُ وَ بِحَمْدِهِ (subhanallahi wa bihamdihi) seratus kali, maka tidak ada seorang pun yang datang pada hari kiamat sambil membawa sesuatu yang lebih baik dari apa yang dibawanya, kecuali seseorang yang berkata seperti yang dikatakannya atau lebih dari itu.”
Di dalam as-Sunan disebutkan dari Abdullah bin Khubaib, dia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadanya, “Katakanlah!” Dia bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kukatakan?” Beliau menjawab, “Katakanlah Qul huwallahu ahad dan mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Naas) ketika engkau memasuki waktu petang dan pagi sebanyak tiga kali, niscaya sudah membuatmu cukup dalam segala sesuatu.” (menurut at-Tirmidzy ini adalah hadits hasan shahih).
Dan masih banyak lagi contoh-contoh do’a dan dzikir yang diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam yang dibaca saat pagi dan petang. Bagi yang ingin mendengarkan dan menghafal dzikir-dzikir tersebut bisa mendownload file mp3 berikut ini:
Anda juga bisa menyimak melalui Radio Rodja gelombang 756 AM atau melalui internet live streaming setiap ba’da subuh dan ashar. Dan bagi anda pengguna iPhone dan iPad bisa mendownload aplikasi dzikir iAzkar di App Store.

Pada Hal Apa Sajakah Suatu Amal Bisa Menjadi Bid’ah?

Istilah bid’ah sudah gencar disuarakan oleh para ulama sebagai peringatan bagi kaum muslimin agar menjauhinya. Mengapa tidak? Karena orang-orang yang melakukan perbuatan bid’ah tidak sadar dan tidak merasa telah berbuat kesalahan. Mereka merasa sedang melakukan suatu amal shalih dan berharap pahala darinya. Itulah salah satu bahaya terbesar dari perbuatan bid’ah sebagaimana dikatakan seorang ulama tabi’in, Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats-Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis). Ya, pelaku maksiat biasanya dia menyadari bahwa dia telah berbuat dosa dan lebih besar harapannya dia suatu saat akan bertaubat. Tapi pelaku bid’ah..?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pun telah memperingatkan tentang perbuatan bid’ah ini dalam sebuah haditsnya,
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ” رواه البخاري ومسلم , وفي رواية لمسلم ” من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak”. (Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)
Para ulama telah sepakat bahwa suatu amal ibadah tidak sah kecuali bila berkumpul padanya dua syarat: Pertama, adanya ke ikhlasan. Kedua, mengikuti contoh dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam (mutaba’ah). Dan satu kaidah penting yang bisa kita pegang dalam masalah ibadah ini adalah bahwasanya asal dari setiap ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya. Ini berbeda dengan muamalah yang pada asalnya adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Dari sini kita bisa memahami kesalahan sebagian orang yang berkata, “mana dalilnya bahwa perbuatan ibadah saya ini terlarang?” Seharusnya orang itulah yang justru harus mendatangkan dalil yang mendasari perbuatan ibadahnya itu. Niat yang baik tidak akan menjadikan suatu amalan bid’ah menjadi amal shalih karena telah melanggar syarat kedua sahnya ibadah, yaitu mutaba’ah.
Jika ada seseorang berkata: “Apabila saya berbuat sesuatu yang baru, asalnya dari syari’at, akan tetapi saya menjadikannya dengan sifat yang khusus yang tidak ada dalam syari’at, apakah yang demikian juga berarti akan tertolak?”
Maka jawabannya adalah akan tertolak. Berikut penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin tatkala menjelaskan hadits di atas.
Ketahuilah, bahwa mutaba’ah tidak akan terwujud apabila amalan tersebut tidak sesuai dengan syari’at dalam enam hal, yakni: sebabnya, jenisnya, ukurannya, teknisnya, waktunya, dan tempatnya. Apabila tidak sesuai dengan syari’at dalam enam hal ini, maka amalan tersebut dikatakan bathil dan tertolak, sebab ia melakukan suatu hal dalam agama Allah yang tidak ada sandaran darinya.
Pertama: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam sebabnya. Hal ini seperti seseorang melakukan ibadah dengan sebab yang tidak pernah Allah sebutkan, misalkan dia shalat dua raka’at setiap kali memasuki rumahnya dan menjadikan hal ini sebagai perbuatan sunnah. Seperti ini tertolak. Walaupun perkara shalat pada dasarnya disyari’atkan, tetapi ketika ia kaitkan dengan sebab yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal ini mengakibatkan ibadah tersebut tertolak. Contoh yang lain, apabila seseorang membuat semacam perayaan dengan sebab kemenangan kaum Muslimin pada perang Badar, maka hal ini pun tertolak, sebab ia mengaitkannya kepada sebab yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kedua: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Apabila seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah yang tidak pernah disyari’atkan agama dalam hal jenisnya, maka hal itu tidak akan diterima. Sebagai contoh, bila seseorang berkurban dengan kuda, maka hal ini tertolak, sebab menyelisihi perintah syari’at dalam hal jenis, dimana syari’at Islam memerintahkan berkurban harus dari jenis binatang ternak tertentu yaitu unta, sapi dan kambing. Adapun seseorang yang memotong kuda dengan niat menshadaqahkan dagingnya maka hal itu diperbolehkan, sebab ia tidak dikatakan berkurban kepada Allah dengan menyembelihnya, namun hanya menyembelihnya untuk dishadaqahkan dagingnya.
Ketiga: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam hal ukurannya. Apabila seseorang beribadah kepada Allah dengan ukuran yang lebih dari ukuran yang telah ditentukan syari’at maka hal itu tidak akan diterima. Sebagai contoh, bila seseorang berwudhu dengan membasuh setiap bagian sebanyak empat kali, maka yang keempatnya tertolak, sebab hal itu melebihi ketentuan syari’at.  Bahkan disebutkan dalam sebuab hadits bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam berwudhu tiga kali-tiga kali, lalu beliau bersabda:
من زاد على ذلك فقد اساء و تعدى و ظلم
“Barangsiapa yang melebihkannya, maka ia telah berbuat jelek melampaui batas dan berbuat kezhaliman.” (HR Imam Ahmad dalam Musnad al-Mukatsirin no 6684, an-Nasa’i kitab ath-Thaharah bab al-I’tidaa fil Wudhu no 140, dan Ibnu Majah kitab at-Thaharah wa Sunaniha bab Ja’a fil Qasdi fil Wudhu’i wa Karahatut Ta’addi Fiih no 422, Hadits hasan seperti disebutkan Shahihul Jami’ no 6989)
Keempat: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam hal teknisnya. Apabila seseorang mengamalkan sesuatu dalam rangka beribadah kepada-Nya tetapi menyelisihi syari’at dalam hal teknisnya, maka tidak akan diterima, dan hal itu tertolak. Contoh, seseorang shalat, ia langsung bersujud sebelum melakukan ruku, maka shalatnya tidak sah dan tertolak, sebab tidak sesuai dengan teknis tuntunan syari’at. Demikian pula dalam hal wudhu dengan cara berbalik seperti memulai dengan membasuh kaki sebelum mengusap kepala setelah itu membasuh tangan lalu muka, apabila berwudhu dengan teknis seperti ini maka tidak sah, sebab tidak mengikuti perintah syari’at dalam hal teknis atau tata caranya.
Kelima: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam hal waktunya. Bila seseorang shalat sebelum masuk waktunya, maka shalatnya tidak mungkin diterima sebab ia menyelisihi waktu yang telah ditentukan syari’at. Juga bila menyembelih kurban sebelum mengadakan shalat ‘Id, inipun tertolak, sebab menyelisihi waktu yang telah ditentukan syari’at. Apabila seseorang beri’tikaf pada selain waktunya, maka hal itu tidak sesuai dengan pedomannya, namun hal ini diperbolehkan sebab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam membolehkan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu beritikaf di Masjidil Haram ketika beliau bernadzar. Apabila seseorang mengakhirkan suatu ibadah yang telah ditentukan waktunya oleh syari’at tanpa adanya alasan yang dibenarkan, seperti shalat shubuh setelah terbit matahari tanpa udzur, maka (dengan sikap seperti ini) shalatnya tertolak, sebab ia telah beramal dengan amalan yang tidak bersumber dan Allah dan Rasul-Nya.
Keenam: Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam ketentuan tempat. Apabila seseorang beri’tikaf di sekolah atau di rumah, bukan di mesjid, maka amalannya ini tidak sah, sebab tidak sesuai dengan tuntunan syari’at dalam ketentuan tempatnya, di mana ibadah i‘tikaf harus dilakukan di masjid.
Demikianlah enam hal tempat terjadinya perbuatan bid’ah, semoga bisa menambah pemahaman kita tentang bid’ah.

Do’a Bepergian, Do’a yang Mengesankan

Ada satu do’a yang begitu menyentuh, dalam maknanya dan saya anggap begitu lengkap menghimpun segala kebaikan yang kita butuhkan dan segala keburukan yang ingin kita hindari berkaitan dengan perjalanan jauh atau safar yang kita lakukan. Do’a itu adalah do’a safar yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Saya baru tahu dan menghafalnya tatkala berangkat haji 2 tahun lalu. Do’a tersebut adalah sebagai berikut:
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، {سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ} اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِيْ سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِي اْلأَهْلِ، اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَاْلأَهْلِ. وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيْهِنَّ: آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ
“Allah Maha Besar (3x). Maha Suci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedang sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat). Ya Allah! Sesungguhnya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam bepergian ini, kami mohon perbuatan yang Engkau ridhai. Ya Allah! Permudahlah perjalanan kami ini dan dekatkan jaraknya bagi kami. Ya Allah! Engkau-lah teman dalam bepergian dan yang mengurusi keluarga(ku). Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan perubahan yang buruk dalam harta dan keluarga.”
Apabila kembali, doa di atas dibaca dan ditambah: “Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Rabb kami.” (HR. Muslim 2/998)
Pernah suatu ketika saya mendengar berita musibah kebakaran di sebuah pemukiman padat di Jakarta saat orang-orang mudik merayakan Idul Fithri di kampung halamannya. Terbayang bagaimana reaksi mereka saat pulang menyaksikan rumahnya habis terbakar. Saya pun segera teringat kepada do’a safar di atas … sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perubahan yang buruk dalam harta dan keluarga. Jika kita hayati dan renungkan do’a tersebut rasanya tidak berlebihan jika saya mengulangi lagi ungkapan saya di awal tulisan ini, sebuah do’a yang menghimpun segala kebaikan yang kita butuhkan dan segala keburukan yang ingin kita hindari berkaitan dengan safar yang kita lakukan. Do’a yang mencakup apa-apa yang mungkin tidak terpikirkan untuk kita mohonkan seandainya kita menyusun do’a sendiri. Memang sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.
Berikut sedikit penjelasan Majdi bin Abdul Wahhab Ahmad saat mensyarah kumpulan do’a Hishnul Muslim karya DR Sa’id bin Ali Wahf al-Qahthani tentang do’a safar tersebut.
Ungkapan أَنْتَ الصَّاحِبُ Engkau teman, dengan kata lain teman yang selalu dekat. Yang dimaksud adalah dampingan Allah Ta’ala kepadanya dengan segala perhatian dan penjagaan. Yang demikian itu karena manusia adalah makhluk yang harus banyak didampingi dalam perjalanan. Pendampingan itu dibutuhkan agar selalu merasa tenang, selalu berhati-hati, terjaga dari apa-apa yang membahayakannya sehingga diingatkan dengan kata itu sebagai tempat bersandar yang paling baik dan penjagaan yang paling sempurna daripada sahabat yang mana pun juga.
Ungkapan الْخَلِيْفَة pengganti dengan kata lain, yang menggantikan orang yang pergi untuk mengamankan segala apa yang diwakilkan kepadanya. Artinya, Engkaulah yang kuharapkan, bersandar kepada-Nya ketika aku tiada di tengah keluargaku, hendaknya Engkau merapikan kekacauan yang ada pada mereka, mengobati penyakit mereka dan menjaga agama dan amanat mereka.
Ungkapan مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ dari kesulitan dalam perjalanan dengan kata lain, kerumitannya. Diambil dari akar kata الوعث yaitu suatu tempat yang datar, banyak tanah berpasir yang melelahkan dan menyulitkan binatang ternak.
Ungkapan وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ adalah pemandangan yang menyedihkan. الكابة و الكابة و الكاب adalah penampilan yang buruk, putus asa karena sedih. Sedangkan yang dimaksud adalah memohon perlindungan dari segala pemandangan yang menimbulkan rasa sedih.
Ungkapan وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ keburukan ketika kembali, yaitu kembali dengan sesuatu yang buruk baginya. Kembali dengan sesuatu yang menimpa dirinya dalam perjalanan, atau apa-apa yang menimpa diri, kerabat, harta dan apa-apa yang menjadi kesenangannya. Al-munqalab adalah tempat kembali.
Ungkapan وَإِذَا رَجَعَ dan ketika pulang, yaitu dari perjalanannya.
Ungkapan قَالَهُنَّ semua itu dibaca dengan kata lain, mengucapkan semua kalimat itu, وَزَادَ فِيْهِنَّ dengan tambahan: kami semua kembali, yaitu kembali dengan baik. Dari kata اب artinya kembali dengan kata lain, kami kembali, dan تَائِبُوْنَ kami semua bertaubat dari segala macam dosa. Serta عَابِدُوْنَ kami semua beribadah dengan kata lain, kami mukhlis لِرَبِّنَا kepada Rabb kami, dan karenanya kami حَامِدُوْنَ kami memuji atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kami.

Selamatkan Diri dari Adzab Allah Dengan Bersyukur

Tidak perlu diragukan lagi akan keutamaan syukur dan ketinggian derajatnya, yakni syukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya yang datang terus beruntun dan tiada habis-habisnya. Di dalam Al-Qur’an Allah menyuruh bersyukur dan melarang kebalikannya. Allah memuji orang-orang yang mau bersyukur dan menyebut mereka sebagai makhluk-makhluk-Nya yang istimewa. Allah menjadikan syukur sebagai tujuan penciptaan-Nya, dan menjanjikan orang-orang yang mau melakukannya dengan balasan yang sangat baik. Allah menjadikan syukur sebagai sebab untuk menambahkan karunia dan pemberian-Nya, dan sebagai sesuatu yang memelihara nikmat-Nya. Allah memberitahukan bahwa orang-orang yang mau bersyukur adalah orang-orang yang dapat memanfaatkan tanda-tanda kebesaran-Nya.
Allah memerintahkan untuk bersyukur pada beberapa ayat Al-Qur’an. Allah berfirman:
 وَاشْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“… dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (An-NahI: 114)
 فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ
“Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152)
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“… maka mintalah rizki itu di sisi Allaih dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.“ (Al-Ankabut: 17)
Allah menggantungkan tambahan nikmat dengan syukur. Dan tambahan nikmat dari-Nya itu tiada batasnya, sebagaimana syukur kepada-Nya. Allah berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Dengan bersyukur akan selalu ada tambahan nikmat. Ada peribahasa mengatakan, ‘Jika kamu tidak melihat keadaanmu bertambah, maka bersyukurlah.’
Allah mengabarkan bahwa yang menyembah Diri-Nya hanyalah orang yang bersyukur pada-Nya. Dan siapa yang tidak mau bersyukur kepada-Nya berarti ia bukan termasuk orang-orang yang mengabdi-Nya. Allah berfirman:
وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“… dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar hanya kepada Allah saja kamu menyembah.” (Al-Baqarah: 172)
Allah mengabarkan keridhaan-Nya terletak pada mensyukuri-Nya. Allah berfirman:
وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“… dan jika kamu bersyukur niscaya Allah meridhai bagimu kesyukuranmu itu …” (Az-Zumar: 7)
Allah mengabarkan bahwa musuh-Nya iblis selalu berusaha menggoda manusia agar tidak bersyukur, karena ia tahu kedudukan syukur yang sangat tinggi dan nilainya yang sangat agung, seperti yang terungkap dalam firman-Nya:
ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“… kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A’raaf: 17)
Allah membarengkan syukur dengan iman dan memberitahukan bahwa Dia tidak punya keinginan sama sekali untuk menyiksa hamba-hamba-Nya yang mau bersyukur dan beriman kepada-Nya. Allah berfirman:
مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.“ (An-Nisaa: 147) Artinya, kalau kalian mau bersyukur dan beriman yang menjadi tujuan kalian diciptakan, maka buat apa Allah menyiksa kalian?
Lantas Bagaimanakah kita Bersyukur?
Asal dan hakikat syukur ialah mengakui nikmat yang memberinya dengan cara tunduk, patuh dan cinta kepadanya. Orang yang tidak mengenal bahkan tidak mengetahui suatu nikmat ia jelas tidak bisa mensyukurinya. Demikian juga dengan orang yang mengenal nikmat tetapi tidak mengenal yang memberinya, ia tidak mensyukurinya. Orang yang mengenal nikmat berikut yang memberikannya tetapi ia mengingkarinya berarti ia mengkufurinya. Orang yang mengenal nikmat berikut yang memberikannya, mau mengakui dan juga tidak mengingkarinya, tetapi ia tidak mau tunduk, mencintai dan meridhai, berarti ia tidak mau mensyukurinya. Dan orang yang mengenal nikmat berikut yang memberinya lalu ia mau tunduk, mencintai dan meridhai serta menggunakan nikmat untuk melakukan keta’atan kepadanya, maka ia adalah orang yang mensyukurinya.
Dengan demikian jelas bahwa syukur itu harus berdasarkan lima landasan, yakni kepatuhan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri, kecintaan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri, pengakuan orang yang bersyukur atas nikmat yang disyukuri, sanjungan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri atas nikmatnya dan tidak menggunakan nikmat itu untuk hal-hal yang tidak disukai oleh yang disyukuri. Kelima hal itulah yang menjadi asas dan landasan syukur. Satu saja di antaranya tidak ada maka salah satu kaidah syukur menjadi rusak.

Akibat Tersebarnya Berita Kejahatan dan Kemungkaran

Bagi penikmat media-media berita baik itu koran maupun televisi niscaya akan sering mendengar dan membaca berbagai berita tentang perbuatan kriminal dan mungkar. Entah itu berita korupsi, perzinaan, perselingkuhan, pencurian, pembunuhan, penyiksaan, kerusakan akhlak dan lain sebagainya. Memang berita-berita tersebut sudah menjadi konsumsi yang digemari banyak orang dan sumber pemasukan untuk menyedot banyak pembaca bagi media-media tersebut. Sebagian mungkin beranggapan bahwa itu perlu diketahui dalam rangka kontrol sosial, mengetahui waqi’ (realitas umat) dan sebagai bahan untuk mengkritik pemerintah. Namun pada kenyataannya yang banyak terjadi hanyalah sekedar konsumsi mata dan hati tatkala beristirahat selepas kerja, untuk refreshing dan dianggap ‘hiburan’ oleh kebanyakan orang yang tidak memiliki kemampuan atau kekuasaan apa-apa untuk merubahnya. Jangan-jangan dalam hatinya pun tidak terbersit rasa benci sama sekali.
Seorang ulama, Syaikh Musthafa al-Adawy, menjelaskan secara ringkas tentang hal yang berkaitan dengan memperdengarkan berita-berita buruk ini. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًاعَلِيمًا
“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nisa: 148)
Yang demikian itu karena kata-kata buruk akan membantu tersebarnya kejahatan dan kemaksiatan.
Contoh sederhana saja, jika anda mendengar beberapa orang bercerita bahwa si fulan melakukan zina, anda pasti tidak senang dan anda akan membenci si fulan yang berzina. Setelah beberapa hari anda mendengar kabar bahwa fulan yang lain berzina dengan mahramnya, maka rasa benci anda kepada pelaku zina yang pertama akan berkurang dan kebencian itu akan terarah kepada pelaku zina dengan mahramnya. Bebeapa hari kemudian anda mendengar masyarakat bercerita bahwa fulan yang lain lagi melakukan zina di tempat umum dan terbuka, di pinggir jalan. Mendengar kabar itu pasti anda akan lupa dari pelaku zina dengan mahramnya dan kebencian anda akan terarah kepada pelaku zina di tempat umum. Jadi begitulah, kemungkaran akan menjadi hal biasa jika banyak dibicarakan.
Jika ada di sebuah kampung di mana tidak ada satu pun dari penduduknya yang meminum minuman keras, kemudian pada suatu ketika terdengar kabar bahwa salah satu penduduknya meminum minuman keras, maka semua penduduk akan membenci peminum itu. Namun jika mereka pergi ke kota dan melihat minuman keras dijual di pinggir-pinggir jalan dan begitu sering dibicarakan, maka perbuatan itu lambat laun akan dianggap sebagai perbuatan biasa. Oleh karenanya mengucapkan kata-kata buruk tidak diperkenankan.
Alloh berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)
Dan sudah dipaparkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
فليقل خيرا او ليصمت
“… maka ucapkanlah kata-kata yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ini akan mencegah tersebarnya keburukan.
Demikian penjelasan Syaikh Musthafa al-Adawy.
Apabila kita bisa menjaga diri dari menyebarkan berita-berita buruk, maka selanjutnya seperti halnya kita menjaga kesehatan tubuh dengan menghindari mengkonsumsi makan-makanan yang buruk yang bisa merusak kesehatan, maka terlebih lagi jika itu adalah makanan hati. Bacaan dan ilmu ibarat makanan bagi hati dan akal. Permasalahan ini cakupannya tentu akan lebih luas lagi, tidak hanya sekedar masalah bacaan atau tontonan di media massa.
Ternyata mati rasa tidak hanya terjadi pada kulit, tetapi bisa juga terjadi pada hati. Wallohu a’lam wa nas’alulloha al’afiyah.

Nabi Nuh Berada Dalam Puncak Kesabaran

Sabar adalah satu kata yang sering kita ucapkan dan kita dengar, namun tidak mudah untuk kita amalkan dengan sempurna. Memang sabar telah diperintahkan dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan kenyataan ujian yang selalu dialami manusia dalam kehidupannya di dunia menjadikan sabar (seharusnya) bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Barangkali kita sering mendengar orang berkata, “… tapi sabar khan ada batasnya!” atau “… apa kita harus bersabar terus…?” dan sebagainya. Musibah atau ujian yang demikian bertubi-tubi terkadang menjadi pembenaran atas ucapan tersebut. Namun bagaimanakah sabar yang dicontohkan oleh para nabi dan rasul?

Kesabaran Nabi Nuh ‘alaihis salam

Nabi Nuh ‘alaihis salam berdakwah mengajak umatnya ke jalan Allah selama 995 tahun secara rahasia dan terang-terangan, malam dan siang hari, memberikan kabar gembira juga ancaman, akan tetapi beliau hanya mendapatkan pembangkangan dari mereka, bahkan pelecehan dan ejekan. Kendati demikian Nabi Nuh tetap berdakwah dalam waktu tersebut tanpa kesal dan bosan. Setiap kali umatnya menentang, maka beliau merubah caranya dalam berdakwah. Bagaimanapun keadaannya, beliau amat belas kasihan kepada umatnya dan takut jika mereka tertimpa adzab Allah yang sangat pedih. Beliau sangat penyantun dan lapang dadanya dan sungguh telah menjadi teladan dalam kesungguhan dan telah berada dalam puncak kesabaran.
Allah mengabadikannya dalam al-Qur’an:
قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلا وَنَهَارًافَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلا فِرَارًاوَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًاثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًاثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا
“Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam.” (Nuh: 5-9)
Kesabaran Nuh bukan hanya dalam menghadapi kaumnya, juga kala menghadapi keluarganya. Inilah fitnah dan cobaan yang hanya dihadapi oleh orang-orang yang bersabar.
Seorang da’i terkadang diberikan ujian dan cobaan dengan sikap kaum dan teman-temannya, akan tetapi ketika dia kembali kepada keluarganya, maka ia mendapatkan ketenangan dan penyejuk hati. Adapun Nuh, beliau dicoba dengan sikap kaumnya dan keluarganya sekaligus. Allah berfirman:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (at-Tahrim: 10)
Bukan hanya isterinya yang menjadi musibah dalam keluarga Nuh, akan tetapi anaknya pun menolak Islam dan membantah ayahnya sehingga masuk ke dalam golongan kafir. Nuh berusaha keras menyelamatkan anaknya, akan tetapi harapan tinggal harapan, Allah berfirman:
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir. Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Huud: 42-43)
Nuh telah dicoba dan bersabar, ia berdo’a kepada Allah dan mendapatkan kemenangan, Allah pun memberikan kebaikan sebagai ganti atas apa yang diambil darinya. Allah menggantinya dengan memberikan anak cucu yang melanjutkan keturunan.
وَجَعَلْنَا ذُرِّيَّتَهُ هُمُ الْبَاقِينَ
“Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.” (ash-Shaffat: 77)

Serba-Serbi Sabar

Sabar yang banyak diperintahkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah ini meliputi 3 keadaan:
1. Sabar dalam menahan jiwa dalam ketaatan dan senantiasa menjaganya, memupuknya dengan keikhlasan dan menghiasinya dengan keilmuan. Di sini tetap berlaku seperti halnya ibadah yang lain, yaitu perlunya keikhlasan karena Allah dan perlunya ilmu agar kesabaran kita benar adanya.
2. Sabar dengan menahan diri dari segala kemaksiatan dan berdiri tegak melawan hawa nafsu.
3. Ridha dengan qadha dan qadar Allah tanpa mengeluh. Adapun mengeluh berupa mengadukan kepada Allah maka tidak mengapa, seperti ucapan Nabi Ya’qub ‘alahis salam,
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Yakub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (Yusuf: 86)
atau Nabi Ayyub ‘alahis salam,
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (al-Anbiyaa’: 83)
Dengan sabar maka akan diketahui siapakah yang berada dalam barisan kaum mukminin dan membersihkan mereka dari orang-orang yang bisa melemahkan barisan mereka. Kita ingat kisah kemenangan pasukan Thalut melawan Jalut,
“Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 249)
Beberapa medan kesabaran adalah sabar dalam menghadapi bencana dunia, dalam menghadapi hawa nafsu, dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, dalam berdakwah, dalam kesempitan, dalam menghadapi anak-anak & isteri, dalam menghadapi saudara seagama dan sabar dalam menuntut ilmu.
Sabar mencakup segenap akhlak islami. Sifat ‘iffah (menjaga kehormatan) adalah sabar dalam menahan syahwat perut dan kemaluan. Syaja’ah (keberanian) adalah bersabar di medan tempur. Al-hilm (santun) adalah bersabar dalam menghadapi sikap membalas ketika marah. Lapang dada adalah bersabar dalam menghadapi rasa kesal. Qana’ah adalah bersabar dengan merasa cukup dengan yang ada. Kitman (menjaga rahasia) adalah bersabar dalam menyembunyikan satu urusan. Zuhud adalah bersabar dengan meninggalkan kelebihan dalam hidup.
Demikianlah bahwa pohon akhlak Islam itu digiring oleh sabar, karena itulah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam ditanya tentang iman, beliau menjawab, “Toleransi dan kesabaran.” (Hadits hasan dikeluarkan oleh al-Hakim III/626, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah III/357 dan Syaikh Salim bin Ied al-Hilali menghasankan hadits ini)
Sabar memiliki beberapa syarat:
1. Ikhlas
2. Tidak mengeluh
3. Sabar pada waktunya terjadi musibah dan inilah sabar yang terpuji lagi berpahala.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi sebuah kuburan. Beliaupun berkata: “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu menjawab dalam keadaan ia belum mengenali siapa yang menasehatinya: “Biarkan aku karena engkau tidak ditimpa musibah seperti musibahku” Selanjutnya dikabarkan kepadanya, “Yang menasehatimu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.” Wanita itu (terkejut) bergegas mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan tidak didapatkannya penjaga pintu di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah aku tadi tidak mengenalimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Hanyalah kesabaran itu pada goncangan yang pertama.” (HR. al-Bukhari III/148, al-Fath dan Muslim VI/277-288 an-Nawawi)
Semoga Allah selalu menolong kita untuk bisa bersabar dalam setiap keadaan.

Larangan Menyerupai Yahudi dan Nasrani dalam Menjadikan Kuburan Sebagai Tempat Ibadah

Sebagaimana kita ketahui, Islam adalah agama tauhid yang menegakan peribadahan hanya kepada Allah semata. Dakwah tauhid ini diserukan tidak hanya oleh Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, tapi juga oleh seluruh Nabi dan Rasul. Dalam sebuah surat dalam al-Qur’an, yaitu Surat al-A’raf, Allah menyebut kisah beberapa Rasul yang mendakwahkan tauhid:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (QS al-A’raf: 59)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Ad saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS al-A’raf: 65)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Saleh. Ia berkata. “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS al-A’raf: 73)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syuaib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS al-A’raf: 85)
Maka tidaklah mengherankan jika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sangat memperhatikan masalah tauhid ini. Beliau berdakwah menitikberatkan pada masalah tauhid selama 13 tahun di Mekah. Berbagai hal yang bertentangan dengan tauhid pun telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Di antara perbuatan yang bisa menghilangkan atau mengurangi tauhid adalah mengaku mengetahui ilmu ghaib, sihir dan perdukunan, mengagungkan berhala atau patung-patung, berkurban untuk selain Allah, mengolok-olok agama, bertawasul kepada selain Allah atau bersumpah dengan selain nama Allah.
Di antara hal yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam terhadap umatnya adalah beribadah di kuburan atau menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Beberapa hadits yang menyebutkan pelarangan ini adalah sebagai berikut:
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia bercerita, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda ketika beliau sakit dan dalam keadaan berbaring,
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid).”
‘Aisyah berkata, “Kalau bukan karena (laknat) itu, niscaya kuburan beliau akan ditempatkan di tempat terbuka, hanya saja beliau takut kuburannya itu akan dijadikan sebagai masjid.” [1]
Dalam hadits lain, dari ‘Aisyah dan Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menghadapi sakaratul maut, maka beliau menempelkan ujung baju beliau ke wajah beliau sendiri. Dan ketika ujung baju itu telah menutupi wajahnya, maka beliau membukanya kembali seraya bersabda, “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka telah menjadikan makam Nabi-Nabi mereka sebagai masjid.” ‘Aisyah mengatakan, “Beliau memperingatkan agar tidak melakukan seperti apa yang mereka lakukan.” [2]

Kecerdasan Iyas bin Mu’awiyah al-Muzanni

Nama beliau adalah Iyas bin Mu’awiyah bin Qurrah al-Muzanni lahir pada tahun 46 H di daerah Yamamah Nejed. Beliau termasuk generasi tabi’in yaitu generasi yang bertemu dengan sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam namun tidak sempat bertemu dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.
Telah nampak bakat dan kecerdasan putera al-Muzanni yang satu ini sejak kecil. Orang-orang sering membicarakan kehebatan dan beritanya kendati beliau masih kanak-kanak.
Telah diriwayatkan bahwa ketika masih kecil beliau belajar ilmu hisab di sebuah sekolah yang diajar oleh Yahudi ahli dzimmah (tunduk dan berada di bawah jaminan penguasa Islam, tidak masuk Islam namun membayar pajak). Pada suatu hari berkumpullah kawan-kawannya dari kalangan Yahudi itu, lalu mereka asyik membicarakan masalah agama mereka tanpa menyadari bahwa Iyas turut mendengarkannya.
Guru Yahudi itu berkata kepada teman-teman Iyas, “Tidakkah kalian heran dengan kaum muslimin itu? Mereka berkata bahwa mereka akan makan di surga, namun tidak akan buang air besar?”
Iyas menoleh kepadanya lalu berkata,
Iyas : “Bolehkah aku ikut campur dalam perkara yang kalian perbincangkan itu wahai guru?”
Guru : “Silakan!”
Iyas : “Apakah semua yang dimakan di dunia ini keluar menjadi kotoran?”
Guru : “Tidak!”
Iyas : “Lantas kemana perginya yang tidak keluar itu?”
Guru : “Tersalurkan sebagai makanan jasmani.”
Iyas : “Lantas dengan alasan apa kalian mengingkari? Jika makanan yang kita makan di dunia saja sebagian hilang diserap oleh tubuh, maka tak mustahil di surga seluruhnya diserap tubuh dan menjadi makanan jasmani.”
Merasa kalah argumen, guru itu memberikan isyarat dengan tangannya sambil berkata kepada Iyas, “Semoga Allah mematikanmu sebelum dewasa.”
Dalam kisah lain, pernah ada duhqan (seperti jabatan lurah di kalangan Persi dahulu) yang datang ke majelisnya Iyas dan bertanya,
Duhqan : “Wahai Abu Wa’ilah, bagaimana pendapatmu tentang minuman yang memabukkan?”
Iyas : “Haram!”
Duhqan : Dari sisi mana dikatakan haram, sedangkan ia tak lebih dari buah dan air yang diolah, sedangkan keduanya sama-sama halal?”
Iyas : “Apakah engkau sudah selesai bicara wahai Duhqan, ataukah masih ada yang hendak kau utarakan?”
Duhqan : “Sudah, silakan bicara!”
Iyas : “Seandainya kuambil air dan kusiramkan ke mukamu, apakah engkau merasa sakit?”
Duhqan : “Tidak.”
Iyas : “Jika kuambil segenggam pasir dan kulemparkan kepadamu, apakah terasa sakit?”
Duhqan : “Tidak.”
Iyas : “Jika aku mengambil segenggam semen dan kulemparkan kepadamu, apakah terasa sakit?”
Duhqan : “Tidak.”
Iyas : “Sekarang, jika kuambil pasir lalu kucampur dengan segenggam semen, lalu kutuangkan air di atasnya dan kuaduk, lalu kujemur hingga kering, lalu kupukulkan ke kepalamu, apakah engkau merasa sakit?”
Duhqan : “Benar, bahkan bisa membunuhku.”
Iyas : “Begitulah halnya dengan khamr. Di saat kau kumpulkan bagian-bagiannya lalu kau olah menjadi minuman yang memabukkan, maka dia menjadi haram.”

Terpilih Menjadi Qadhi

Karena keutamaan yang beliau miliki, beliau pernah dipercaya menjadi qadhi di Bashrah pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Umar bin Abdul Aziz awalnya memiliki dua pilihan calon yaitu Iyas dan al-Qasim bin Rabi’ah al-Haritsi yang kedua-duanya bak kuda balap kembar dalam ilm fiqih, tegas dan kukuh dalam kebenaran, cemerlang pemikiran-pemikirannya dan tepat dalam pandangannya. Masing-masing memiliki keunggulan tersendiri. Lantas beliau mengutus walinya di Irak yang bernama Adi bin Arthah untuk memilih di antara keduanya.
Adi bin Arthas mempertemukan antara Iyas dan al-Qasim lalu berkata, “Amirul mukminin – semoga Allah memanjangkan umurnya – memintaku untuk mengangkat salah satu dari kalian sebagai kepala pengadilan Bashrah. Bagaimana pendapat kalian berdua?”
Masing-masing mengatakan bahwa rekannyalah yang lebih utama sambil menyebutkan keutamaan, ilmu dan kefakihannya.
Adi berkata, “Kalian tidak boleh keluar dari sini sebelum kalian memutuskannya.”
Iyas berkata, “Wahai Amir, anda bisa menanyakan tentang diriku dan al-Qasim kepada dua fuqaha Irak ternama yaitu Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin, karena keduanyalah yang paling mampu membedakan antara kami berdua.”
Iyas mengatakan seperti itu karena al-Qasim adalah murid  dari kedua ulama tersebut, sedangkan Iyas sendiri tidak punya hubungan apapun dengan mereka. Al-Qasim menyadari bahwa Iyas akan memojokkannya, sebab kalau pemimpin Irak itu bermusyawarah dengan kedua ulama itu, tentulah mereka akan memilih dia dan bukan Iyas. Maka dia segera menoleh kepada Adi dan berkata, “Wahai Amir, janganlah anda menanyakan perihalku kepada siapapun. Demi Allah yang tiada ilah selain Dia, Iyas lebih mengerti tentang agama Allah daripada aku dan lebih mampu untuk menjadi hakim. Bila aku bohong dalam sumpahku ini, maka tidak patut anda memilihku karena itu berarti memberikan jabatan kepada orang yang ada cacatnya. Bila aku jujur, anda tidak boleh mengutamakan orang yang lebih rendah, sedangkan di sini ada yang lebih utama.”
Iyas berpaling kepada amir dan berkata, “Wahai Amir, anda memanggil orang untuk menjadi hakim. Ibaratnya anda letakkan ia di tepi jahanam, lalu orang itu (al-Qasim) hendak menyelamatkan dirinya dengan sumpah palsu yang dia bisa meminta ampun kepada Allah dengan beristighfar kepada-Nya dan selamatlah ia dari apa yang ditakutinya.”
Maka Adi berkata kepada Iyas, “Orang yang berpandangan seperti dirimu inilah yang layak menjadi hakim.”
Lalu diangkatlah Iyas sebagai qadhi di Bashrah.

Kiat-kiat Meraih Doa Mustajab

Orang yang meninggalkan doa adalah orang yang paling merugi. Sebaliknya seorang yang berdoa tidak akan pernah merugi atas doa yang ia panjatkan, selama ia tidak berdoa untuk suatu dosa atau memutuskan tali silaturahim. Karena doa yang ia panjatkan pasti disambut oleh Allah, bisa dengan mewujudkan apa yang ia minta di dunia atau mencegah keburukan atas dirinya yang setara dengan apa yang ia minta atau menyimpannya sebagai pahala yang lebih baik baginya di akhirat kelak. Dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَدْعُو بِدُعَاءٍ إِلَّا آتَاهُ اللّٰهُ مَا سَأَلَ أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهُ مَا لَمْ يَدْعُ بِـإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ
“Tidak ada seorang yang berdoa dengan suatu doa kecuali Allah akan mengabulkan apa yang ia minta atau Allah menahan keburukan atas dirinya yang semisal dengan apa yang ia minta selama ia tidak berdoa untuk suatu perbuatan dosa atau untuk memutuskan tali silaturahim.” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ (5678))
Oleh karena itu janganlah seorang hamba merasa keberatan meminta kepada Rabbnya dalam urusan-urusan dunianya, meskipun urusan yang sepele, terlebih lagi dalam urusan akhirat. Karena permintaan itu merupakan bukti ketergantungan yang sangat kepada Allah dan kebutuhannya kepada Allah dalam semua urusan. Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam telah mengatakan,
إِنَّهُ مَنْ لَمْ يَسْأَلْهُ يَغْضَبْ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya barang siapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan marah kepadanya.” (HR at-Tirmidzi (3373) dan Ibnu Majah (3727) dari Abu Hurairah. Lihat Shahih at-Tirmidzi)
Oleh karena itu dahulu para salaf senantiasa berdoa kepada Allah sampai-sampai ada di antara mereka yang berdoa agar rasa garam bisa terasa pada makanannya.

Beberapa Kiat Meraih Doa Mustajab

1. Memasang niat yang benar dan ikhlas
Yaitu untuk melaksanakan ibadah kepada Allah dan menggantungkan kebutuhan kepada-Nya. Karena siapa saja yang menggantungkan hajatnya kepada Allah, niscaya ia tidak akan rugi selama-lamanya.
2. Memanjatkan doa dalam keadaan bersuci
Inilah yang dianjurkan dan lebih afdhal. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
إِنِي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَاللهَ عَزَّوَجَلَّ إِلَّا عَلَى طُهْرٍ أَو قَالَ عَلَى طَهٰرَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah melainkan dalam keadaan suci (atau beliau mengatakan: dalam keadaan thaharah).” (Diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (834))
Hanya saja jika seorang berdoa dalam kondisi tidak berwudhu hal itu tidak mengapa.
3. Mintalah kepada Allah dengan menengadahkan kedua telapak tangan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda,
إِذَا سَأَلْتُمُ اللّٰهَ فَاسْأَلُوهُ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَ لَا تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا
“Jika kamu meminta kepada Allah maka mintalah dengan menengadahkan telapak tangan dan janganlah kamu memintanya dengan menengadahkan punggung telapak tangan.” (HR Abu Dawud (1486) dari Malik bin Yasar. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (1318))
Atau dengan cara mengangkat tangan hingga nampak putih ketiaknya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يَبْدُوَ إِبِطُهُ يَسْأَلُ اللّٰهَ مَسْأَلَةً إِلَّا آتَاهَا إِيَّاهُ
“Tidaklah seorang hamba mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya dan memohon suatu permohonan kecuali Allah mengabulkan permohonannya itu …” (HR at-Tirmidzi (3603) dari Abu Hurairah. Lihat Shahih at-Tirmidzi)
Kaifiyat seperti itu menunjukan ketergantungan seorang hamba kepada Allah, kebutuhannya kepada Allah dan permohonannya yang sangat kepada-Nya.
4. Mulailah dengan mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada Allah Ta’ala serta bershalawat atas Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam
Hal ini akan membuat doa kita lebih terkabulkan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah mendengar seorang laki-laki berdoa dalam shalatnya dan dia tidak mengagungkan Allah dan tidak bershalawat atas Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah ia memulainya dengan mengucapkan hamdalah serta puja dan puji kepada Allah, kemudian bershalawat atas Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, kemudian setelah itu ia berdoa apa yang ia inginkan.” (HR Abu Dawud (1481) dan an-Nasa’i (44/3) dan at-Tirmidzi (3477) dan dishahihkannya, dari Fudhail bin Ubaid. Lihat Shahih Abu Dawud (1314))
“Semua doa terhalang sehingga diucapkan shalawat atas Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam.” (HR ad-Dailami di dalam Musnad al-Firdaus (III/4791) dari Ali, dalam hadits lain diriwayatkan dari Anas. Diriwayatkan juga dari Ali secara mauquf yang diriwayatkan ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan al-Baihaqi di dalam asy-Syu’ab. Al-Haitsami dalam al-Majma’ (X/160): “Para perawinya tsiqat.” Lihat Shahih al-Jami’ (4523))
5. Mulailah dengan berdoa untuk diri sendiri terlebih dahulu
Itulah tuntunan doa dalam al-Qur’an seperti yang disebutkan dalam ayat,
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
“Ya Rabbi! Ampunilah aku dan kedua ibu bapakku.” (QS Nuh: 28)
6. Bersungguh-sungguh dalam meminta
Jangan ragu dalam berdoa atau mengucapkan pengecualian, “jika engkau berkehendak ya Allah, berikanlah kepadaku ini dan ini.”
7. Menghadirkan hati dalam berdoa
Seorang insan hendaklah menghadirkan hati, memusatkan pikiran, mentadaburi doa yang ia ucapkan, serta menampakkan kebutuhan dan ketergantungannya kepada Allah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Berdoalah kepada Allah sementara kalian yakin doa kalian akan dikabulkan. Ketahuilah sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan lengah.” (HR at-Tirmidzi (3479) dan al-Hakim (493/1) dari Abu Hurairah. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi)
8. Gunakan kata-kata singkat dan padat serta doa-doa yang ma’tsur
Tidak syak lagi bahwa kata-kata yang paling padat dan paling singkat dan paling agung berkahnya adalah doa-doa yang diriwayatkan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Namun jika tidak hafal, ia boleh berdoa dengan bahasa yang ia pahami.
9. Bertawasul dengan nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala
Sebagaimana firman Allah,
وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu.” (QS al-A’raf: 180)
Atau bertawasul dengan menyebut amal shalih yang telah dia lakukan sebagaimana disebutkan dalam hadist shahih yang mahsyur tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua.
10. Memperbanyak ucapan ‘Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam’
Sesungguhnya Nabis shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
أَلِظُّو ابِيَا ذَاالْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Ulang-ulangilah ucapan Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam.” (HR at-Tirmidzi (3525) dan yang lainnya. Dari Anas. Lihat Shahih at-Tirmidzi (2797). Diriwayatkan juga dari hadits Rabi’ah)
Yaitu selalu ucapkan dan perbanyaklah ucapan itu dalam doa-doa kalian. Karena hal itu merupakan kata-kata pujian yang sangat tinggi bagi Allah. Dan memperbanyaknya akan membantu terkabulnya doa.
11. Mencari waktu-waktu yang mustajab dan tempat-tempat yang utama
Ada beberapa waktu dan tempat mustajab untuk berdoa yang telah disebutkan dalam sejumlah nash syar’i. Dan sebaiknya orang yang berdoa mencari waktu tersebut dan memperbanyak doa pada waktu-waktu tersebut. Di antaranya adalah waktu antara adzan dan iqamah, di dalam shalat, ketika berpuasa, di bagian akhir malam, hari-hari di bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, pada hari Arafah, di medan perang, saat hujan turun dan tempat-tempat lain yang disebutkan dalam atsar.
12. Memperbanyak doa pada saat-saat lapang
Perbanyaklah doa pada saat lapang supaya Allah mengabulkan permintaan kita pada saat-saat sempit. Termasuk hikmah Allah dalam mentakdirkan suatu bala/musibah, bahwa Allah suka mendengarkan rintihan seorang hamba kepada-Nya. Dan suka melihat mereka kembali kepada-Nya pada saat-saat sempit. Apabila seorang insan bertadharru’ pada saat-saat lapang, niscaya akan segera dikabulkan permintaannya di saat ia dalam kesempitan.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَسْتَجِيبَ اللّٰهُ لَهُ عِنْدَ الشَّدَاءِدِ وَالكَرْبِ فَلْيُكْثِرِ الدُّعَاءَ فِي الرَّخَّاءِ
“Barangsiapa suka Allah mengabulkan doanya pada saat-saat sempit dan sulit hendaklah ia banyak-banyak berdoa pada saat-saat lapang.” (HR at-Tirmidzi (3382) dan al-Hakim (I/544) dan dishahihkannya, lalu disetujui oleh adz-Dzahabi dari Abu Hurairah. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi)

Tidak Menggerakan Lidah dalam Bacaan Shalat

Di antara kesalahan dalam shalat yang mungkin banyak dilakukan adalah tidak menggerakan lidah dan bibir tatkala takbir dan membaca bacaan dalam shalat atau hanya membaca dalam hati saja. Bacaan shalat hanya sekedar dilintaskan dalam hati saja seakan-akan shalat itu hanya gerakan tanpa ada perkataan dan dzikir-dzikir.
Allah Ta’ala berfirman,
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“… karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (QS al-Muzzammil: 20)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
“Tidak sah shalat seseorang jika tidak membaca al-Fatihah.” (HR Bukhari, Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqi. Lihat  Irwa’ hadits no 302)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika mengajari seseorang shalat, “Apabila kamu melaksanakan shalat, maka bacalah takbir, lalu bacalah apa yang mudah menurut kamu dari ayat Al-Qur’an…” (HR Abu Daud dan Al-Baihaqy dari jalannya, hadits hasan)
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa shalat itu tidak hanya gerakan saja namun meliputi perkataan, karena yang dimaksud dengan membaca itu adalah menggerakan lidah seperti yang telah maklum adanya.
Di antara dalil yang memperkuat pernyataan ini adalah firman Allah Ta’ala, “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya.” (QS al-Qiyamah: 16)
Oleh karena itu para ulama yang melarang orang junub membaca ayat al-Qur’an, memperbolehkannya melintaskan bacaan ayat di dalam hati. Sebab dengan sekedar melintaskan bacaan ayat di dalam hati tidak digolongkan membaca.
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Orang yang sedang junub, haidh dan nifas boleh melintaskan bacaan ayat al-Qur’an di dalam hati tanpa melafadzkannya. Begitu juga dia diperbolehkan melihat mushaf sambil membacanya dalam hati.” (al-Adzkaar hal 10)
Muhammad ibn Rusyd berkata, “Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut. Dengan suara hati inilah perbuatan manusia tidak dianggap hukumnya. Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dilakukannya.” (QS al-Baqarah: 286)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah mengampuni dari umatku tehadap apa yang masih terjadi di dalam jiwa (hati) mereka.” (Hadits ini berkualitas shahih. Lihat Irwaa’ul Ghalil (VII/139) nomor 2062)
Mengenai keras bacaan seseorang dalam shalatnya, Imam asy-Syafi’i berkata di dalam kitab al-Umm, “Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada di sampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.”
Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa orang yang bisu tidak sejak lahir – karena mengalami kecelakaan di masa perkembangan – wajib menggerakan mulutnya ketika membaca lafadz takbir, ayat-ayat al-Qur’an, doa tasyahud dan lain sebagainya. Karena dengan berbuat demikian dia telah dianggap melafadzkan dan menggerakan mulut. Sebab perbuatan yang tidak mampu dikerjakan akan dimaafkan, akan tetapi selagi masih mampu diperbuat maka harus dilakukan. (Lihat Fataawaa al-Ramli (I/140) dan Hasyiyah Qulyubiy (I/143))
Mayoritas ulama lebih memilih untuk mensyaratkan bacaan minimal bisa didengar oleh diri pembaca sendiri. Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki cukup menggerakan mulut saja ketika membaca ayat-ayat al-Qur’an. Namun lebih baik jika sampai bisa didengar oleh dirinya sendiri sebagai upaya menghindar dari perselisihan pendapat. (Lihat ad-Diin al-Khaalish (II/143))

10 Amalan Ringan Pembuka Jalan Menuju Surga

llah dan Rasul-Nya banyak menyebutkan ganjaran surga dan mengancam dengan adzab neraka untuk memotivasi umat-Nya untuk banyak beramal shalih dan menjauhi segala larangan-Nya. Di samping itu Allah pun telah mengabarkan sifat-sifat surga dan neraka untuk lebih meningkatkan keinginan manusia untuk meraih surga dan menjauhi neraka.
Di antara kenikmatan surga, Allah berfirman dalam sebagian ayat-ayat-Nya,
عَلَى سُرُرٍ مَوْضُونَةٍ – مُتَّكِئِينَ عَلَيْهَا مُتَقَابِلِينَ – يَطُوفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُخَلَّدُونَ – بِأَكْوَابٍ وَأَبَارِيقَ وَكَأْسٍ مِنْ مَعِينٍ – لا يُصَدَّعُونَ عَنْهَا وَلا يُنْزِفُونَ – وَفَاكِهَةٍ مِمَّا يَتَخَيَّرُونَ – وَلَحْمِ طَيْرٍ مِمَّا يَشْتَهُونَ – وَحُورٌ عِينٌ – كَأَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ
“Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata, seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk, dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS al-Waqi’ah: 15-23)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Surga itu disediakan bagi orang-orang sholih, kenikmatan di dalamnya tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pula pernah terlintas dalam hati.’ Maka bacalah jika kalian menghendaki firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.’” (QS. As Sajdah [32] : 17) (HR. Bukhari & Muslim)
Maka membayangkan seberapa besar kenikmatan surga – dan sesungguhnya lebih indah dari yang bisa kita bayangkan – tentu menjadi motivasi kuat bagi orang yang beriman untuk meraihnya. Dan ini adalah bagian dari keimanan terhadap hari akhir dan iman kepada Allah Ta’ala.
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al-Wabil penulis kitab Asyratus Sa’ah (Tanda-tanda Hari Kiamat) berkata, [“Sesungguhnya percaya kepada Allah, hari akhir, pahala serta siksaan memberi arah yang nyata terhadap perilaku manusia untuk berbuat kebaikan. Tidak ada undang-undang ciptaan manusia yang mampu menjadikan perilaku manusia tetap tegak dan lurus seperti beriman kepada hari akhir. Oleh karena itu, dalam masalah ini akan ada perbedaan perilaku antara (orang yang tak beriman kepada Allah dan hari akhir) dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta dia mengetahui bahwa dunia adalah tempat simpanan akhir sedang amal shalih adalah bekal untuk akhirat, sebagaimana firman Allah,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“...Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa ...” (QS al-Baqarah: 197)
Dan sebagaimana komentar sahabat Umair Ibnu Hamam, “Menuju kepada Allah tak ada bekal lain kecuali takwa, amal akhirat dan sabar karena Allah dalam perjuangan. Dan semua bekal akan habis kecuali takwa, berbuat baik dan mencari petunjuk.”
Nampak perbedaan antara perilaku orang beriman dengan yang tidak beriman kepada Allah, hari akhir, pahala dan siksaan. Maka bagi orang yang percaya hari pembalasan dia akan berbuat dengan melihat kepada timbangan langit, bukan timbangan bumi. Dan dia akan melihat hisab akhirat, bukan hisab dunia. Dia akan mempunyai perilaku tersendiri dalam kehidupan. Kita akan melihatnya istiqamah dan dalam berpikir, iman, tabah dalam kesulitan, sabar atas bencana demi mencari pahala, dan dia mengerti bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal.”]
Jalan menuju surga memang dipenuhi onak dan duri. Akan tetapi sesungguhnya ada banyak amalan-amalan yang mudah dilakukan namun Allah membalasnya dengan ganjaran yang sangat besar. Berikut ini disajikan beberapa amalan yang insya Allah ringan diamalkan namun bisa membawa pelakunya ke surga.

Perkataan Para Imam Mengenai Larangan Taqlid Terhadap Madzhab

Masalah perbedaan pendapat di kalangan umat Islam adalah sesuatu yang umum terjadi, terutama dalam permasalahan fikih. Bahkan di kalangan ulama sendiri perbedaan itu terjadi. Namun seharusnya itu tidak menjadi alasan umat Islam untuk berpecah belah, terlebih jika pendapat tersebut berlandaskan pada dalil yang shahih, karena Allah mencintai persatuan dan melarang perpecahan.
Terkadang yang disayangkan adalah tatkala sebagian individu muslim terlalu menganggap ringan perbedaan tanpa melihat kembali terhadap amal atau keyakinan yang dimilikinya sejak kecil. Karena bisa jadi apa yang dia amalkan atau dia yakini hanya sekedar kebiasaan yang dia lihat di lingkungannya atau menerima informasi tanpa lebih jauh melihat dasar atau dalil yang mendasarinya. Atau mengamini adanya perselisihan dengan berdalil hadits yang tidak ada asalnya yaitu ‘perselisihan umatku adalah rahmat‘. Atau mengecam orang lain semata-mata karena bertentangan dengan madzhabnya dan menolak pendapat lain hanya karena berbeda madzhab – yang umum disebut sebagai taqlid buta. Sangat disayangkan, padahal para imam yang menjadi panutan dalam madzhab itu justru melarang pengikutnya untuk taqlid dan memerintahkan mereka untuk ittiba atau mengikuti sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu tidak sulit bagi kebanyakan kaum muslimin untuk kembali merenungkan dan mencari tahu lebih jauh mengenai landasan amal perbuatan dan keyakinan yang selama ini dipegangnya.
Berikut ini kutipan beberapa pernyataan para imam rahimahumullah yang hendaknya dicermati oleh para pengikutnya dan dijadikannya sebagai salah satu landasannya dalam beragama.

1. Abu Hanifah (Imam Hanafi)

Beliau adalah imam madzhab yang pertama. Ucapan beliau:
a. “Jika suatu hadits shahih, itulah madzhabku.” [Ibnu Abidin dalam kitab al-Hasyiyah (I/63) dan kitab Rasmul Mufti (I/4) dari kumpulan-kumpulan tulisan Ibnu Abidin. Juga oleh Syaikh Shalih al-Filani dalam kitab Iqazhu al-Humam hlm 62 dan lain-lain]
Ibnu Abidin menukil dari Syarah al-Hidayah karya Ibnu Syahnah al-Kabir, seorang guru Ibnul Humam, yang berbunyi:
“Bila suatu hadits shahih sedangkan isinya bertentangan dengan madzhab kita, yang diamalkan adalah hadits.” Hal ini merupakan madzhab beliau dan tidak boleh seseorang muqallid menyalahi hadits shahih dengan alasan dia sebagai pengikut Hanafi, sebab secara sah disebutkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau berpesan, “Jika suatu hadits shahih, itulah madzhabku.” Begitu juga Imam Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dari para imam lain pesan semacam itu.
b. “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya.” [Ibnu Abdul Barr dalam kitab al-Intiqa fi Fadhail ats-Tsalatsah al-Aimmah al-Fuqaha hlm 145, Ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in (II/309), Ibnu Abidin dalam Hasyiyah al-Bahri ar-Raiq (VI/293), dll]
c. “Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tinggalkanlah pendapatku itu.” [Al-Filani dalam kitab al-Iqazh hlm 50, menisbatkannya kepada Imam Muhammad]

2. Imam Malik bin Anas

Beliau menyatakan:
a. “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah, ambillah, dan bila tidak sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah, tinggalkanlah.” [Ibnu Abdul Barr dan dari dia juga Ibnu Hazm dalam kitabnya Ushul al-Ahkam (VI/149), begitu pula al-Fulani hlm. 72]
b. “Siapa pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.” [Di kalangan ulama mutaakhir hal ini populer dinisbatkan kepada Imam Malik dan dinyatakan shahihnya oleh Ibnu Abdul Hadi dalam kitabnya Irsyad as-Salik (1/227). Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdul Barr dalam kitab al-Jami' (II/291), Ibnu Hazm dalam kitab Ushul al-Ahkam (VI/145, 179), dari ucapan Hakam bin Utaibah dan Mujahid. Taqiyuddin Subuki menyebutkannya dalam kitab al-Fatawa (I/148) dari ucapan Ibnu Abbas. Karena ia merasa takjub atas kebaikan pernyataan itu, ia berkata : "Ucapan ini diambil oleh Mujahid dari Ibnu Abbas, kemudian Malik mengambil ucapan kedua orang itu, lalu orang-orang mengenalnya sebagai ucapan beliau sendiri."]
c. Ibnu Wahhab berkata, “Saya pernah mendengar Malik menjawab pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki dalam wudhu, jawabnya, ‘Hal itu bukan urusan manusia.’ Ibnu Wahhab berkata, ‘Lalu saya tinggalkan beliau sampai orang-orang yang mengelilinginya tinggal sedikit, kemudian saya berkata kepadanya, ‘Kita mempunyai hadits mengenai hal tersebut’. Dia bertanya, ‘Bagaimana hadits itu?’ Saya menjawab, ‘Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah, Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dari Yazid bin ‘Amr al-Mu’afiri, dari Abi ‘Abdurrahman al-Habali, dari Mustaurid bin Syaddad al-Qurasyiyyi, ujarnya, ‘Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggosokkan jari manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya’. Malik menyahut, ‘ Hadits ini hasan, saya tidak mendengar ini sama sekali, kecuali kali ini. ‘ Kemudian di lain waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama, lalu beliau menyuruh orang itu untuk menyela-nyela jari-jari kakinya.” [Muqaddimah kitab al-Jarh Wa at-Ta'dil, karya Ibnu Abi Hatim, hlm 31-32 dan diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam Sunnan-nya (I/81)]

3. Imam Syafi’i

Banyak riwayat-riwayat yang dinukil dari beliau dalam masalah ini. Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya (VI/118), “Para ahli fiqh yang ditaqlidi telah menganggap batal taqlid itu sendiri. Mereka melarang para pengikutnya untuk taqlid kepada mereka. Orang yang paling keras dalam melarang taqlid ini adalah Imam Syafi’i. Beliau dengan keras menegaskan agar mengikuti hadits-hadits yang shahih dan berpegang pada ketetapan-ketetapan yang digariskan dalam hujjah selama tidak ada orang lain yang menyampaikan hujjah yang lebih kuat serta beliau sepenuhnya berlepas diri dari orang-orang yang taqlid kepadanya dan dengan terang-terangan mengumumkan hal ini. Semoga Allah memberi manfaat kepada beliau dan memperbanyak pahalanya. Sungguh pernyataan beliau menjadi sebab mendapatkan kebaikan yang banyak.”
Di antara pesan Imam Syafi’i:
a. “Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku.” [Diriwayatkan Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam Syafi'i seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu Asakir (XV/1/3), I'lam al-Muwaqi'in (II/363-364), al-Iqazh hlm 100]
b. “Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu hadits dari Rasulullah, tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang.” [Ibnu Qayyim (II/361) dan al-Filani hlm 68]
c. “Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah, peganglah hadits Rasulullah itu dan tinggalkan pendapatku itu.” [Harawi dalam kitab Dzamm al-Kalam (III/47/1), al-Khathib dalam Ihtijaj bi asy-Syafi'i (VIII/2), Ibnu Asakir (XV/9/1), Nawawi dalam al-Majmu' (I/63), Ibnu Qayyim (II/361), dll]
d. “Bila suatu Hadits shahih, itulah madzhabku.” [Nawawi, dalam Al-Majmu', Sya'rani (I/57) dan ia nisbatkan kepada Hakim dan Baihaqi, Filani hlm 107]
e. “Kalian lebih tahu tentang hadits dan para rawinya daripada aku. Apabila suatu hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar di manapun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya.” [Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu asy-Syafi'i hlm 94-95, Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (IX/106), al-Khatib dalam al-Ihtijaj (VIII/1), diriwayatkan pula oleh Ibnu Asakir dari beliau (XV/9/1), Ibnu Abdil Barr dalam Intiqa hlm 75, dll]
f. “Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut kalangan ahli hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati.” [Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (IX/107), al-Harawi (47/1), Ibnu Qayyim dalam al-I'lam (II/363) dan Al-Filani hlm 104]
g. “Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna.” [Ibnu Abi Hatim dalam Adabu asy-Syafi'i hlm 93, Abul Qasim Samarqandi dalam al-Amali seperti pada al-Muntaqa, karya Abu Hafs al-Muaddib (I/234), Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (IX/106), dan Ibnu Asakir (15/10/1) dengan sanad shahih]
h. “Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku.” [Ibnu Abi Hatim hlm 93, Abu Nu'aim dan Ibnu Asakir (15/9/2) dengan sanad shahih]
i. “Setiap hadits yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku.” [Ibnu Abi Hatim hlm 93-94]

4. Imam Ahmad bin Hambal

Beliau menyatakan sebagai berikut:
a. “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.” [Al-Filani hlm 113 dan Ibnu Qayyim dalam al-I'lam (II/302)]
Pada riwayat lain disebutkan: “Janganlah kamu taqlid kepada siapapun mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu ambil. Adapun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya (menolak atau menerima).”
Kali lain dia berkata: “Yang dinamakan ittiba’ yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi’in boleh dipilih.” [Abu Dawud dalam Masa'il Imam Ahmad hlm 276-277]
b. “Pendapat Auza’i, Malik dan Abu Hanifah adalah ra’yu (pikiran). Bagi saya semua ra’yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada atsar (hadits).” [Ibnu Abdul Barr dalam al-Jami’ (II/149)]
c. “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berada di jurang kehancuran.” [Ibnu Jauzi hlm 142]