Dari Abu Muhammad, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash, dia berkata:
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Tidak beriman salah
seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku
bawa.” (Hadits hasan shahih dan kami riwayatkan dari kitab al-Hujjah
dengan sanad yang shahih).
PENJELASAN:
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash tergolong sahabat yang banyak
meriwayatkan hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, sebab ia
sebagai penulis wahyu, sehingga Abu Hurairah merasa ingin mengunggulinya
(ghibthah). Abu Hurairah berkata: “Saya tidak tahu orang yang
mengungguliku dalam periwayatan hadits Rasulullah, selain ‘Abdullah bin
‘Amr, sebab ia menulis sedangkan aku tidak menulis. (2)
Sabda beliau: احدكم لايؤمن (tidak beriman salah seorang di antara
kalian), artinya: iman secara sempurna. ه حتى يكون هوا (hingga hawa
nafsunya), artinya: arah dan tujuannya (sesuai/mengikuti syari’at Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Imam an-Nawawi berkata: “Hadits hasan shahih dan kami riwayatkan dari kitab al-Hujjah
dengan sanad yang shahih.” Ibnu Rajab mengomentari penilaian Imam
an-Nawawi akan riwayat ini, ia berkata: “Hadits ini tidak shahih (namun
dha’if).” Sebab itu saya anjurkan untuk membaca syarah lbnu Rajab dan
komentarnya tentang derajat hadits yang ada dalam kitab al-Arba’in ini.
Sebab beliau termasuk pakar hadits. Apabila ia mencacatkan hadits-hadits
yang disebutkan Imam an-Nawawi niscaya akan jelas bagi kita alasannya.
Akan tetapi makna hadits ini benar, tanpa harus melihat sanadnya,
sebab hawa nafsu manusia harus mengikuti risalah yang dibawakan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.
BEBERAPA FAEDAH (PELAJARAN) DARI HADITS INI:
1. Peringatan bagi manusia untuk tidak mengedepankan akal atau adat
istiadat di atas risalah yang dibawakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sebab ketidaksempurnaan iman ini dapat menafikan keimanan
darinya.
Apabila seseorang berkata: mengapa kalian mengartikannya dengan ‘tidak beriman secara sempurna?’
Jawaban: kami mengartikannya demikian sebab tidak mungkin hal ini
terjadi dalam setiap permasalahan. Bisa jadi hawa nafsunya mengikuti
banyak hal yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
namun dalam sebagian yang lain tidak mengikutinya, maka dari itu
diartikan ‘tidak beriman secara sempurna’. Dan kita katakan: apabila
hawa nafsunya menolak semua (perkara agama) yang datang dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia menjadi orang yang murtad
(kafir).
2. Wajib atas seseorang untuk mendahulukan mencari dalil, sebelum
memutuskan suatu hukum, bukan menghukumi dulu lantas mencari dalil.
Artinya: jika Anda ingin menetapkan suatu hukum dalam hal keyakinan atau
amalan yang zhahir, maka kewajiban Anda yang pertama adalah mencari
dalil, kemudian menetapkannya. Adapun sikap sebaliknya (Anda menetapkan
dulu lalu mencari dalil), itu berarti Anda menjadikan diri Anda sebagai matbu’ (yang harus diikuti) oleh para tabi’
(yang mengikuti). Dengan kata lain, jika demikian Anda telah menjadikan
akal sebagai sumber rujukan pokok, sedangkan al-Qur’an dan as-Sunnah
sebagai cabangnya.
Sebab itu Anda dapatkan sebagian ulama – semoga Allah merahmati dan
memaafkan mereka – yang mendewa-dewakan madzhab mereka. Madzhab itu
mereka jadikan dalil dan rujukan pokok bagi para pengikut madzhab
mereka, kemudian mereka berupaya memutar-mutarkan ‘tengkuk’ nash
(al-Qur-an dan as-Sunnah) agar sesuai dengan apa yang dinyatakan madzhab
mereka dengan cara yang tidak tepat. Ini termasuk musibah yang menimpa
sebagian ulama. Maka yang wajib atasmu adalah menjadikan hawa nafsu
mengikuti apa yang datang dari syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
3. Pembagian hawa nafsu kepada terpuji dan tercela. Pada dasarnya,
ketika hawa nafsu dikatakan secara umum, maka yang dimaksud adalah hawa
nafsu yang tercela, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur-an dan
al-Hadits. Setiap yang Allah sebutkan dalam hal mengikuti hawa nafsu,
secara otomatis itu berarti jelek. Namun hadits ini menunjukkan bahwa
hawa nafsu dapat diarahkan agar mengikuti syari’at yang dibawa oleh Nabi
shalallahu ‘alaihi wa salam. Dengan kata lain, hawa nafsu itu terbagi
dua bagian: Pertama terpuji, yaitu manakala ia mengikuti apa yang
dibawakan Rasulullah. Kedua: tercela, yaitu yang menyelisihi hal di
atas. Namun ketika disebutkan secara mutlak, maka pengertiannya adalah
hawa nafsu yang tercela, sehingga dikatakan: “Hidayah lawannya adalah
hawa nafsu.”
4. Kewajiban menerapkan hukum syari’at Islam dalam segala hal,
berdasarkan sabda beliau: تبعاُ لما جئت به “mengikuti apa yang aku
bawa.” Sedangkan Rasulullah diturunkan dengan membawa segala hal yang
akan bermanfaat bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah
Ta’ala berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur-an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS. An-Nahl: 89)
Tidak ada satu pun di antara persoalan yang dibutuhkan manusia, baik
dalam hal akhirat atau dunia – alhamdulillah – seluruhnya telah
dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, entah penjelasannya
gamblang, setiap orang mengetahuinya, atau penjelasan bagi sesuatu yang
sulit, yang hanya diketahui oleh orang-orang yang kuat dalam hal
keilmuannya (ulama).
5. Iman itu bersifat bertambah dan berkurang, sebagaimana yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.
Wallaahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar